Kasus Misran bermula dari wewenang mantri yang boleh bertindak layaknya dokter. Meski demikian, wewenang tersebut diberikan karena kondisi geografis yang tak stabil sehingga penyebaran penduduk tak merata.

Beberapa orang berdiri di tengah perempatan jalan setapak. Dibawah pohon kelapa, 2 dari mereka mengibas-ibaskan HP sambil memelototi layar. Sesekali diam lalu geser sedikit demi sedikit.

Mantri desa di pedalaman Kalimantan, Misran, akan mengajukan kasasi ke MA. Selain untuk mendapatkan keadilan juga mencegah adanya traumatik dan keresahan perawat/paramedis dalam menolong masyarakat.

Kasus mantri desa di pedalaman Kalimantan yang dipidana 3 bulan penjara, merupakan tragedi memilukan di Indonesia. Hal tersebut semata-mata dipicu keangkuhan aparat penegak hukum.

Mantri desa di pedalaman Kalimantan yang dipidana, Misran, harusnya tidak bertanggungjawab sendirian. Seharusnya, jika ada pelimpahan wewenang dari atasan Misran, maka Dinas Kesehatan turut bertanggungjawab.

PT Samarinda memberikan putusan banding dengan menguatkan putusan PN Tenggarong yaitu penjara selama 3 bulan kepada Misram, mantri desa di pedalaman Kalimantan. Kecaman pun langsung mengalir bahkan dari kalangan medis sendiri.

Keputusan Banding Pengadilan Tinggi Samarinda yang menguatkan keputusan PN Tenggarong membuat tanda tanya besar. Masyarakat menilai ada yang tidak beres dengan pengadilan karena hakim tidak memahami kondisi geografis sebenarnya.

Meski putusan pengadilan telah diputus banding, sayangnya masyarakat Kalimantan tak pernah tahu siapa yang melaporkan Misram ke polisi hingga berakhir di penjara.

Pengadilan Tinggi Samarinda tetap memerintahkan Misram untuk dipenjara selama 3 bulan, mantri desa yang dinilai tidak berkompetensi memberikan obat daftar G. Atas putusan banding ini, Misram langsung mengajukan kasasi.

UU Kesehatan yang menjerat seorang mantri desa, Misran, yang dipidana 3 bulan penjara oleh hakim PN Tenggarong hanya menggunakan kaca mata Jakarta yang mudah diakses oleh siapapun.