The Cure Makin Kelam di Album Song Of A Lost World

Nugraha
|
detikPop
AUCKLAND, NEW ZEALAND - JULY 21: Robert Smith of  The Cure performs on stage at Vector Arena on July 21, 2016 in Auckland, New Zealand.  (Photo by Phil Walter/Getty Images)
Robert Smith, vokalis The Cure Foto: Phil Walter/Getty Images
Jakarta - The Cure merilis album berisi delapan lagu: Song Of A Lost World. Kamu dibawa ke dunia Robert Smith yang kelam.

Robert Smith untuk kedua kalinya setelah A Head In The Door, menulis semua lagu di Songs Of A Lost World. Bukan berarti teman-teman bandnya cuma jadi pengiring. Justru mereka banyak menonjol dengan kemampuan musikal yang begitu dewasa.

Mantan sideman David Bowie, Reeves Gabrels yang jadi gitaris The Cure sejak 2012, salah satunya. Dia menambahkan unsur psikadelik dengan riff yang megah.

Drummer Jason Cooper juga kayak benar-benar ditempa. Meski keseluruhan produksinya secara artistik meredam kemampuannya, tapi gak menghilangkan kekuatannya. Kombinasi The Cure kembali bikin kamu mengerti bagaimana cara berlama-lama membangun musik yang anggun.

BTW, Song Of A Lost World itu album baru The Cure setelah 16 tahun lalu rilis 4:13 Dream, album yang gak jadi favorit siapa pun.

The Cure dianggap punya album keren terakhir itu 32 tahun lalu lewat album Wish, yang punya deretan lagu hit. Mereka juga punya Bloodflowers yang sudah berusia 20 tahun, album yang dramatik dan membawa kamu ke dalam pengalaman yang artistik banget.

Tapi setelah itu, berat banget bagi mereka buat mengobati kerinduan penggemar. Song Of A Lost World itu jadi semacam pembuktian The Cure buat kembali punya arti.

Rasa Wish dan Bloodflowers dipadukan, bahkan mereka mengajak lagi insinyur rekaman Paul Corkett yang menangani produksi Bloodflowers. Hasilnya, mereka paham banget bagaimana seharusnya rekaman The Cure itu terdengar.

Rasanya mirip-mirip album Disintegration yang lebih mewah, meski album ini gak punya satu sihir kayak Pictures Of You yang tiba-tiba muncul dari kegelapan.

Robert Smith mendorong kembali ide The Cure sebagai raja gloom-rock. Dia menulis lagu-lagu ini ketika berduka atas kehilangan ibunya, ayahnya, dan kakaknya. Isinya pun sudah bisa kamu duga, soal kematian, kehilangan dan cahaya yang semakin redup.

Alone membuka album itu dengan bayangan Smith menyapa orang yang mencintainya, buat semua cinta yang pernah dialaminya. Beberapa lagu setelah itu juga punya tema serupa, meski lebih terasa gelap soal kehilangan harapan.

Smith juga bicara soal dirinya yang hampir selesai, kesepian dan bagaimana kini dia jadi sosok yang begitu tua. Dia bicara begitu dalam soal pengunduran diri menuju singgasana yang gelap dan kosong.

And Nothing Is Forever punya sentuhan synth yang dalam dengan Warsong yang memperdalam konteks yang ingin disampaikannya. A Fragile Thing punya hentakan yang lebih cepat, lalu dibuat bergetar oleh Drone:Nodrone, sementara All I Ever Am lebih nge-pop.

Endsong adalah lagu penutup yang berdurasi 10 menit lebih, didorong oleh drum yang menggema bersahutan dengan gemuruh gitar. Simon Gallup juga sekali lagi jadi orang yang bikin bassline terdengar kayak fondasi kuat band tersebut.

Tapi, sorotan paling terasa ada di tengah-tengah, lewat I Can Never Say Goodbye. Lagu yang The Cure banget: Something wicked this way comes / To steal away my brother's life.


(nu2/nu2)


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO