Linkin Park Terjebak Nostalgia

Nugraha
|
detikPop
Linkin Park dengan formasi baru.
Foto: Linkin Park
Jakarta - Merayakan kembali Linkin Park bersama Emily Armstrong. Kamu bakal langsung dibawa pada masa lalu Linkin Park.

Baru satu lagu yang dirilis Linkin Park dari sebelas lagu yang disiapkan di album From Zero bersama vokalis baru tersebut. Pemilihan judul yang gak pake basa-basi, Mike Shinoda cs mau mulai lagi dari awal.

Lagu perdana mereka, The Emptiness Machine, kayak nostalgia. Ada getaran yang gak biasa dari Emily Armstrong, kamu kayak dipaksa buat mengingat Chester Bennington. Bahkan pada beberapa nada, Emily itu kayak Chester versi cewek.

Melihat kualitas itu, Emily Armstrong harusnya punya power yang cukup buat Linkin Park. Mereka terakhir bikin album itu 2017, One More Light, album yang bukan Linkin Park banget. Mereka terdengar lebih progresif, meninggalkan ciri khas sebagai band nu-metal, subgenre yang menggabungkan unsur rock alternatif, hip-hop, dan musik elektronik.

Dalam album itu, single yang menarik perhatian adalah Heavy yang disentuh dengan cara yang berbeda juga ketika kolaborasi dengan Kiiara. Lagu yang terasa nge-pop, dengan nada-nada riang yang ditonjolkan. Hingga kita semua baru sadar, itu adalah album perpisahan, setelah secara mengejutkan mendengar kabar Chester meninggal dunia dengan beberapa catatan soal mentalnya.

Memulai dari titik nol, kayak nama album baru mereka, kamu kayak diajak kembali ke album Hybrid Theory pada 2000. Album debut itu dengan tegas menampilkan perpaduan riff gitar yang agresif, elemen elektronik, turntablism, dan dua jenis vokal yang jadi penyeimbang antara clean dan distorsi.

Album itu juga yang mengawali kritik keras buat Linkin Park, terutama soal genre. Kritikus kala itu kayak punya kesepakatan, band-band kayak The Strokes dan The White Stripes, jadi contoh yang bakal mewakili masa depan musik rock. Sedangkan band yang memadukan genre kayak Linkin Park dianggap sebagai sisa dari tren 'rap-rock' yang lagi sekarat.

Ada juga penilaian, semestinya musik Linkin Park mengangkat cerita yang lebih gelap dan penuh amarah kayak Trent Reznor, Marilyn Manson, hingga Tool. Lihat, mana ada musisi di atas mengangkat lirik, shut up when I'm talking to you. Jauh juga sama sosok kayak Jonathan Davis-nya Korn, apalagi Zack de la Rocha, yang legendaris di Rage Against the Machines.

Tapi, Hybrid Theory itu memainkan peran penting buat industri nu-metal. Getaran emosional dan akses terhadap album tersebut kayak beresonansi dengan beragam audiens, terutama pecinta musik yang lebih muda. Ramuan yang pas banget pada zamannya buat industri musik.

"Ada banyak anak-anak yang sangat marah di seluruh dunia. Saya pikir itu hal yang baik. Kemarahan memicu perubahan, lebih dari sekadar kebahagiaan, karena menurut saya ketika orang menjadi bahagia dan nyaman, mereka jadi malas dan melankolis. Ketika ada sedikit kemarahan di baliknya, kamu jadi termotivasi," kata Chester Bennington kepada The Guardian pada 2001.

Pertanyaannya, mengapa harus kembali ke titik nol? Apakah Linkin Park terjebak nostalgia?


(nu2/nu2)


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO