Belajar Bijak di Era Medsos Lewat Budi Pekerti

Setelah TIFF, film ini kembali tayang di SXSW Sydney 2023, Taipei Golden Horse International Film Festival, The International Film Festival of India, The 39th Santa Barbara International Film Festival, dan di CinemAsia Festival 2024 pada Maret lalu.
Film dengan judul internasional Andragogy ini juga tayang di festival internasional dalam negeri yaitu Jakarta Film Week. Dengan kesuksesannya yang begitu besar film ini berhasil meraih 3 penghargaan Piala Citra 2023 dari 13 nominasi yang didapat.
Setelah melewati berbagai festival dan tayang di bioskop tanah air, film garapan Wregas Bhanuteja itu akhirnya resmi tayang di Netflix per tanggal 21 Maret 2024.
Keberhasilan film ini bukan hanya angin lewat belaka, Budi Pekerti membawa berbagai pesan moral kepada masyarakat agar lebih bijak dalam menggunakan teknologi.
Film ini mengangkat latar waktu saat di masa pandemi lalu, di mana hampir seluruh aktivitas manusia dilakukan dengan basis daring. Dari konteks inilah premis cerita bergerak menggunakan dampak negatif dari penyalahgunaan teknologi.
![]() |
Di zaman modern ini teknologi mengemban peran sentral dalam kelangsungan hidup manusia termasuk dalam penyebaran informasi. Media sosial memegang peranan penting karena hampir semua orang pasti memiliki setidaknya satu aplikasi media sosial dalam handphonenya.
Hal ini lah yang berusaha di sampaikan di film ini, media sosial yang harusnya membantu memudahkan penyebaran informasi disalahgunakan untuk menyebarkan hoaks demi kepentingan sebagian pihak.
Film ini juga membuat sarkasme kepada ekosistem media sosial yang kerap kali mengulang pola yang sama. Membuat kesalahan, viral, klarifikasi, lalu mengulang kembali.
Tentunya konteks ini terasa sangat dekat bagi kita yang bahkan membaca tulisan ini menggunakan teknologi. Budi Pekerti berhasil menciptakan atmosfer realis yang dimana semua orang bisa merasakan hal ini secara nyata.
Berbagai aspek sosial turut mempertajam isu ini dari ekomomi keluarga Bu Prani (Sha Ine Febryanti), pekerjaan Muklas (Angga Yunanda), keseharian Tita (Prilly Latuconsina), Penyakit Didit (Dwi Sasono), dan pekerjaan Bu Prani sebagai guru BK yang memegang peranan kunci pada film ini.
![]() |
Penggunaan konsep guru BK yang diikat dengan isu pencemaran nama baik yang akhirnya menghambat pekerjaannya menjadi warna yang menarik dalam film ini. Hal ini juga yang mengajarkan bahwa inti dari segala permasalahan isu digital ini harusnya dientaskan dengan penanaman moral sedini mungkin untuk menciptakan pemikiran yang bermoral.
Adanya penggunaan skoring dan shot-shot yang mengintimidasi juga menambahkan dramatisasi cerita di film ini. Penonton akan merasakan emosi yang naik turun secara konstan dan merasa terintimidasi berkat dari audio dan visualnya.
Keputusan syuting di daerah Jogja juga menambahkan rasa lokalitas yang tertanam di benak penontonnya. Penggunaan bahasa Jawa yang terkadang 'misuh' juga menambah ketegangan emosi pada adegan tertentu.
Dengan intensitas rasa bersalah dan emosi yang dihajar terus menerus di setiap pergantian scene akhirnya membuat penonton merasakan ketegangan sesungguhnya. Film ini berhasil memvisualisasikan kengerian masih yang tercipta hanya dengan benda yang kita bawa setiap harinya, handphone.
Di luar berbagai kekurangan kekurangan seperti karakter building di film ini, film ini berhasil meyakinkan penonton atas setiap karakter yang membawa pesan agar masyarakat semakin bijak dalam menggunakan teknologi.
Walaupun segala pekerjaan telah dibantu oleh AI, kita sebagai manusia punya hal yang tidak dimiliki AI dan harus tetap dipergunakan, yaitu kecerdasan moral.
Kita juga diajarkan untuk tidak tergesa-gesa untuk mengambil keputusan karena dengan media sosial, apapun yang kita lakukan bisa berbalik arah melawan ke kita sendiri.
(ass/ass)