24 Jam Bersama Gaspar Jadi Angin Segar Genre Crime Indonesia

24 Jam bersama Gaspar menjadi film panjang ke-4 yang disutradarai Yosep Anggi Noen. Dengan kolaborasinya bersama Visinema, Yosep Anggi Noen berhasil membuat film yang unik sebagai warna baru dalam karir filmnya.
Dari sinopsisnya, film ini bercerita dengan waktu hidupnya yang tersisa 24 jam, Gaspar memutuskan untuk memecahkan kasus lamanya yang hilang.
Dengan mengusung genre crime mistery ditambah dengan visualisasi dunia distopia, film ini berhasil membawa pengalaman penonton ke dunia antah berantah yang terjadi di era masa depan. Dunia dimana krisis ekonomi terjadi, perubahan iklim, hingga kasus kejahatan dibangun dengan sedemikian rupa dalam film ini.
Konsep ini terasa baru bila melihat filmografi Yosep Anggi Noen yang mana selalu menempatkan set ceritanya di dunia yang realis. Walau dalam film-film sebelumnya telah membuat dunia dunia tersendiri, latar dunia pada 24 Jam bersama Gaspar terasa berbeda karena berlatar di masa depan dalam dunia distopia.
"Saya selalu berpikir bahwa ketika membuat film itu selalu membentuk dunia-dunia kecil. Mulai dari membuat film-film pendek, harus membuat dunia-dunia kecil yang dinikmati sebagai satu kesatuan. Kemudian setelah saya membuat Gaspar sebagai terjemahan dari novel, yang sebenarnya novelnya sudah menggambarkan satu dunia yang berbeda." jelas Yosep Anggi Noen pada wawancara di Grand Hyatt, Jakarta (8/3/2024).
![]() |
Selain dari aspek visual, penggambaran dunia baru juga kembali ditegaskan melalui dialog di film ini. Dengan menggunakan bahasa baku yang mengarah kepada kebahasaan novelis, para penonton semakin merasa dibawa ke atmosfer yang berbeda seperti dunia realis yang ada.
"Itu dengan sadar kita tunjukkan bahwa dunia serba imajinasi yang kami wujudkan itu tidak hanya pada bentuk fisiknya, tapi sampai hal-hal verbal yang diungkapkan oleh pemain-pemainnya seperti cara ngobrolnya. Itu kita ciptakan untuk membangun dunia yang baru dan berbeda," ungkap Yosep Anggi Noen.
Faktanya, novel asli dari adaptasi film ini tidak secara gamblang menggambarkan dunia yang sureal dan berlatar di distopia. Keputusan menggunakan aspek naratif dan sinematik ini merupakan konsep yang berdasarkan intuisi sang sutradara saat mencoba menerjemahkan novelnya ke film.
"Saya tidak bisa sebut novelnya distopian, tapi saya bisa menyebut novelnya membawa kita ke satu dunia yang berbeda. Nah kemudian kita mengulik-ulik novelnya, gimana caranya membuat spirit dunia yang berbeda itu bisa muncul. Salah satunya itu tadi, dunia distopian yang berbeda, dari dunia yang kita lihat sehari-hari, dan yang kedua kebahasaan," sebutnya.
Yosep Anggi Noen adalah salah satu sutradara tanah air yang suka bereksperimen dalam karya-karya filmnya. Tak tanggung-tanggung bahkan terkadang eksperimennya membawa rasa sureal terhadap penontonnya. Sama seperti di film 24 Jam bersama Gaspar, ia mengaku bahwa hal-hal yang mustahil di dunia klasik bisa saja dibawakan ke sinema, sama di film ini.
"Saya percaya dengan sinema, kita bisa menghadirkan hal-hal yang tidak mungkin terjadi pada dunia," pungkasnya.
(ass/ass)