Dari Minahasa Utara ke Jepang, Riset David Van Reybrouck Juga Jelajahi Tinder
    
            Risetnya bermula dari sebuah panti wreda di pinggiran Jakarta, menjelahinya bagian lainnya dari Pulau Jawa lalu ke Togean, Minahasa Utara. Tak berhenti sampai di Indonesia saja, namun ia juga kroscek dan pergi ke Jepang, Belanda sampai ke Nepal demi sebuah buku.
Kepada awak media, David Van Reybrouck cerita kalau pergi ke Togean, Minahasa Utara, dan mendapati seorang yang nenek yang sudah tua sekali.
"Itu pertama kalinya, satu-satunya saya rasa dan saya merasa benar-benar beruntung. Dia menceritakan tentang kopra (daging buah kelapa yang dikeringkan) yang dipanen oleh si nenek saat masih muda, lalu membawa dan menjualnya ke pedagang Jepang, dan saya mengkroscek ke Jepang, iya benar mereka punya data itu. Catatan dan gambar-gambar kapal pertama datang, kapal kedua, dan seterusnya," ungkap David Van Reybrouck di Gramedia Jalma, Jakarta Selatan, pada Senin (3/11).
Terkadang, ia pergi ke panti jompo lainnya dan menemukan 10 orang saksi yang cuma bisa berbahasa Jawa. Ada juga seseorang yang sudah tua diwawancarai di Jakarta, dan nyebut sebagai saksi mata dari pembunuhan massal di dekade 1966.
Tapi ia juga memakai jasa aplikasi kencan Tinder demi sebuah riset. Dengan foto normal dan bio yang menerangkan lagi meriset, David berhasil mendapatkan empat orang saksi mata. Cara ini juga dipakainya di Jepang.
 Penulis Revolusi David Van Reybourck saat peluncuran di Gramedia Jalma, Jakarta Selatan, Senin (3/11). Foto: Tia Agnes/ detikcom | 
"Di Jepang itu sangat berguna, saya punya satu narasumber orang Jepang berkat Tinder, saya masukkan juga di buku," terangnya.
Ia mewawancarai hampir 200 narasumber ke berbagai tempat dan selama itulah, ia gak menghitung berapa banyak uang yang keluar dari kantor pribadi. Sembari berkelakar, ia bilang buku Congo sukses besar dan royaltinya dipakai buat meriset dan menulis buku Revolusi.
David Van Reybrouck juga pernah mendapatkan subsidi sebagai penulis residensi di Jerman. "Tapi mungkin itu 100 ribu euro (Rp 1,9 miliar) tapi itu terlalu banyak. Saya tidak menerima uang dari pemerintah Belanda atau Indonesia, dari NGO manapun atau dari Amerika," tegasnya.
 Penulis Revolusi David Van Reybourck saat peluncuran di Gramedia Jalma, Jakarta Selatan, Senin (3/11). Foto: Dok.Gramedia Pustaka Utama | 
Menurut David, sejarah Indonesia sangat kompleks dan ada banyak lini masyarakat misalnya para ulama Islam, komunis, dan nasionalis. "Seperti kapal dengan sosial, ras, dan ekonomi yang berbeda," ucapnya.
Ia menegaskan Indonesia adalah negara pertama yang merdeka setelah perang Dunia ke-2. "Saya mengecek kepastiannya 20 kali. Gak ada yang pernah menyinggung ini, di Indonesia sekalipun. Sejarah Indonesia gak berakhir di tahun 1949 saat Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar, lalu berlanjut ke Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955, tapi juga kasih dampak besar bagi Asia, Arab, Afrika, dan Amerika Latin," tegas David.
Lewat buku Revolusi, ia menuliskan sejarah Indonesia layaknya novel. Ceritanya dibuat naratif, deskriptif, dan memakai bahasa yang ringan serta sederhana. Revolusi pun menjelma menjadi kisah di balik kata ganti orang pertama dan penelusurannya yang dilakukan dengan metode jurnalistik. Buku Revolusi yang diterbitkan penerbit Gramedia Pustaka Utama, kini tersedia di toko buku.        
        
(tia/pus)












































   
            
   
            
   
            
                          
            
  
                
