Lebih dari satu dekade, penulis asal Korea Baek Se-hee berjuang melawan distimia setelah didiagnosis oleh psikiaternya. Depresi kronis yang bersifat ringan namun berlangsung lama pernah buat dirinya mengakhiri hidup.
Pengalaman sesi konseling bersama psikiaternya dituliskan lewat esai sampai terangkum dalam buku I Want to Die But I Want to Eat Tteokbokki yang rilis di Korea Selatan pada 2018. Saat itu, belum banyak buku dengan genre memoar yang blak-blakan menulis persoalan mental health.
Baek Se-hee menerima banyak komentar dan stigma negatif. Ia kembali merasa tersudut.
"Yang membuat saya paling khawatir adalah pandangan negatif terhadap orang-orang yang depresi itu sangat kuat. Respons pembaca juga ada di dua kubu, yang mendukung dan yang memberikan respons negatif karena tidak bisa relate dengan buku ini," tutur Baek Se-hee dalam jumpa pembaca dan wawancara secara virtual pada 2020.
"Ada yang bilang buku ini gak perlu-lah sampai diterbitkan, ada yang bilang gak ngerti juga kenapa buku ini bestseller," lanjutnya.
Salah satu komentar paling negatif adalah ada yang mengatakan buku I Want to Die But I Want to Eat Tteokbokki hanya menjual rasa depresi saja. Padahal Baek Se-hee cuma ingin berbagi pengalaman saat konsultasi dengan psikiater namun dari POV pasien.
Selama ini, di toko buku hanya ada buku kesehatan mental dari para ahli dan dokter kesehatan jiwa saja.
"Saya yang pertama menuliskan buku seperti ini dari sudut pandang pasien di Korea," katanya.
Baek Se-hee meninggal dunia kemarin pada usia 35 tahun. Sebelum meninggal, wasiat terakhirnya adalah menyumbangkan lima organ tubuh yakni jantung, paru-paru, hati, dan dua ginjal kepada pasien yang membutuhkan.
Simak Video "Video: Penulis 'I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki' Meninggal Dunia"
(tia/dar)