Cerita Pendek

Sehari Bersama Orang Baru

Kholili Badriza
|
detikPop
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta - "Seseorang harusnya mulai buka bicara di sini." Senyum lelaki itu malu.

Perempuan itu hanya membalasnya dengan senyum ringan. Ia cerdas dan tak suka buru-buru. Baginya, kegiatan menyimak akan membuatmu menang banyak.

"Kamu tidak pesan makanan?" sahut lelaki itu berbasa-basi. Duduk berhadapan, hanya ada dua cangkir minuman di meja mereka, yang sebetulnya keduanya tak terlalu peduli apa isinya.

Perempuan itu hanya membalasnya dengan senyum ringan (lagi).

Lelaki itu sadar, mereka tak butuh basa-basi.

***

Keduanya diam. Tersenyum. Menebak-nebak siapa yang akan memulai kembali.

"Aku tidak lapar. Kamu tidak lapar. Kita di sini tidak untuk makan," sahut perempuan itu mengalah. "Jadi perempuan ideal menurutmu yang seperti apa?" lanjutnya.

Lelaki itu menarik tubuhnya, mengempaskannya pada sandaran kursi, seolah mengerti permainan macam apa yang akan ia hadapi hari ini. Ia memegang dahinya seperti sedang berpikir keras. Tersenyum. Lalu melipat kedua lengannya di dada. Masih bersandar.

Perempuan cerdas lawan bicaranya itu menikmati kekacauan yang sedang ia buatnya sendiri.

"Sebab sepertinya kamu bukan lelaki ideal yang aku inginkan," lanjutnya memancing keributan. Perempuan ini tahu betul apa yang sedang ia lakukan. Ia bermain mental. Apapun akhir dari pertemuan ini, ia ingin keluar sebagai pemenang.

***

Lelaki itu tersenyum lagi. Lalu menopang kepalanya pada dua tangan yang bersiku pada meja.

"Jadi lelaki seperti apa yang kau anggap ideal?" Nadanya menyerah.

"Bukan soal apa yang ideal, tapi apa yang tidak ideal?"

Lelaki itu mengerutkan dahi.

"Oh, aku mengerti. Kamu tidak tahu apa yang kamu inginkan, tapi kamu tahu apa yang tidak kamu inginkan."

"Mungkin."

"Bagaimana kamu tahu kalau aku bukanlah lelaki yang kamu inginkan? Kita baru bertemu...lima menit yang lalu?"

"Insting saja. Aku percaya pada instingku."

Lelaki itu mengerutkan dahi.

Perempuan itu tahu persis, di fase ini, lawan bicaranya, seperti yang sudah-sudah, akan berterima kasih dan meninggalkan meja. Menyerah.

Lelaki itu masih tampak tak mengerti.

***

"Baiklah. Bagaimana bila aku akan membantumu?"

"Membantuku?" tanya perempuan itu heran.

"Ya. Aku punya banyak waktu yang bisa aku buang sia-sia hari ini."

"Maksudnya?"

"Bagaimana jika kamu ikut aku jalan kaki sebentar menyusuri jalan kota yang indah selesai diguyur hujan ini. Kita akan bicara sembarangan saja, dan akan aku tunjukkan sifat-sifat lelaki yang sudah kau putuskan bukan tipe idealmu ini. Demikian, kau mampu menghemat barang lima sampai sepuluh pertemuan dengan lelaki lain. Kamu cukup menemukan lima sampai sepuluh ketidakidealan itu hari ini. Dariku. Demikian pula, umurmu, yang kuperkirakan masih panjang, tidak akan terlalu sia-sia."

Perempuan itu tampak berpikir. Sadar, rupanya teman bicaranya hari ini mungkin saja agak berbeda dari biasanya.

"Oke. Cukup adil. Aku punya cukup waktu untuk aku buang-buang bersama lelaki yang sudah kuputuskan tidak ideal."

***

Mereka menyusuri jalan basah bekas hujan dengan nuansa kebiru-biruan menjelang matahari tenggelam. Lampu-lampu trotoar dinyalakan lebih awal hanya karena matahari sudah tak begitu kelihatan tertutup awan sisa hujan.

"Jadi kamu suka fotografi," sahut lelaki itu memulai, melihat kamera yang tampak tidak murah terkalung di leher perempuan itu.

"Oh, ini kamera tua milik kakekku."

"Jadi kamu suka fotografi karena terpaksa?"

"Mengapa begitu?" sahut perempuan tersinggung.

"Ya kamu suka fotografi karena kebetulan kakekmu seorang fotografer mungkin."

"Bukannya memang begitulah kita tumbuh? Kita berkembang di lingkungan-lingkungan yang sebagian besar tidak bisa kita pilih."

"Berarti standar ideal lelaki yang kamu miliki juga berasal dari lingkungan-lingkungan di mana kamu tumbuh?"

"Mungkin. Tapi aku tidak tahu di bagian lingkungan yang mana. Aku terlalu banyak memasuki lingkungan bermacam. Aku sedang mencobanya satu-satu."

"Oh, kamu mengambil jalan untuk mengeliminasi ketimbang memilih?"

"Bisa benar."

"Lalu mengapa kamu tidak gunakan jalan lain? Berusaha memahami orang yang tumbuh di lingkungan yang berbeda. Lingkungan yang tidak sama dengan lingkungan-lingkungan di mana kamu tumbuh. Mungkin kamu akan menemukan hal-hal baru yang bahkan kamu sendiri tidak pernah berpikir akan sukai."

"Maksudmu semisal coba kenalan dengan seorang saintis nuklir yang memutuskan pindah profesi menjadi pemain sepak bola di sebuah klub bola yang nyaris bangkrut, begitu? Lalu aku harus coba memahami dia, mempelajari dunia yang sama sekali aku tidak mengerti? Terdengar sangat melelahkan."

"Ya, mungkin. Tapi setidaknya aku bukan saintis nuklir seperti yang kamu bayangkan. Kamu punya imajinasi yang luas rupanya."

Perempuan itu tertawa kecut. "Sepertinya kamu harus berhenti mencoba mengubah keputusanku soal kamu bukan lelaki ideal bagiku," timpalnya seperti sedang menuangkan kuah soto pada kerupuk yang baru saja matang.

***

Lelaki itu tertawa. Ia mengerti telah kalah sejak awal. Ia tak peduli, apa saja akan ia pertaruhkan hari ini.

"Nilai matematikaku tidak terlalu bagus. Tapi aku agak yakin peluangmu menemukan lelaki idealmu terlalu kecil. Tampaknya terlalu banyak kombinasi yang kamu inginkan."

"Aku lebih percaya soal nilai matematikamu yang tidak terlalu bagus."

"Oke, cukup fair." Di titik ini, lelaki itu mulai terbiasa ditampar berkali-kali.

"Aku penasaran, apakah lelaki-lelaki yang pernah kamu temui sebelumnya ada yang mampu bertahan berbicara sejauh apa yang kita bicarakan hari ini?"

"Kamu ingin mengatakan aku ketus dan bukan teman bicara yang menyenangkan?" sahutnya kembali menguji. Diam-diam ia menyimak baik-baik setiap jawaban yang dilontarkan lelaki itu.

"Kamu mungkin ketus, tapi justru itu yang membuatmu menjadi teman bicara yang menyenangkan."

"Aku ingatkan sekali lagi, kamu bukanlah lelaki ideal yang aku bayangkan."

"Aku mengerti, kamu punya pendirian dan tidak suka kompromi."

"Apa yang salah?"

"Tidak ada yang salah. Kamu benar. Kita seperti lawan kata."

"Aku tidak mengerti."

"Kamu tidak penasaran, apakah bagiku, kamu adalah perempuan yang ideal?"

"Itu tak penting lagi bagiku. Sebab kamu bukanlah lelaki ideal."

"Ah, akhirnya aku menemukan kesamaan di antara kita," sahutnya tertawa.

"Apa itu?"

"Kita sama-sama egois. Mungkin aku akan mengatakan hal yang sama bila sedang di posisimu."

***

Lampu-lampu hias trotoar mulai tampak lebih menguning menyala. Hari mulai gelap.

"Jadi seperti apa perempuan ideal menurutmu?"

"Aku tidak punya standar ideal."

"Omong kosong. Aku sudah berjalan sejauh ini mengikutimu. Jawab sedikit serius, boleh?"

"Aku datang dengan buku kosong. Alur cerita, karakter, apa yang aku suka, apa yang tidak aku suka, apa yang tak pernah aku suka tapi mungkin aku akan suka, apa yang selama ini aku suka tapi mungkin tak akan kusukai lagi, apa yang harusnya aku pelajari, apa yang harusnya aku berhenti pelajari, apa yang pernah aku inginkan, apa yang tak seharusnya aku inginkan, apa yang harusnya aku inginkan, dan hal-hal lain yang akan terlalu panjang bila harus kuingat dan kusebut satu-satu sore ini, semua itu akan aku tulis begitu aku selesai mempelajari teman baruku. Hari ini, aku menulis itu semua mengelilingi karaktermu yang aku pelajari sore ini. Orang mungkin akan menyebutku tukang kompromi dan tak punya pendirian."

"Sepertinya mereka benar," sahut perempuan itu.

"Aku? Tukang kompromi?" balas lelaki itu tak percaya.

"Ya."

"Mungkin aku akan ubah beberapa yang aku tulis hari ini di esok atau lusa dan seterusnya. Tapi sepertinya itu tidak akan terjadi."

"Mengapa?"

Lelaki itu berhenti melangkah. Perempuan itu turut berhenti.

"Bagaimana bisa aku kompromikan ide mengenai perempuan ideal bagiku dengan karaktermu, bila kita hanya akan selesai bertemu sore ini? Aku butuh lebih banyak informasi," jelasnya berharap.

Perempuan itu hanya membalas senyum. Senyum yang tentu saja sulit diterjemahkan oleh lelaki itu.

***

"Jadi sudah berapa buku yang kamu tulis hingga hari ini? Yang aku pahami, berarti perempuan idealmu bisa gonta-ganti setiap hari."

"Oh, aku belum bilang. Aku tak akan pindah dari satu buku ke buku lain sebelum buku yang sedang aku tulis betul-betul menemukan jalan buntu. Kamu boleh bilang aku membuang buku-buku itu sebelum menulis lagi yang baru."

"Dan hari ini tampaknya adalah salah satu dari hari-hari buntu itu," lanjut lelaki itu menyayangkan.

Mereka mengambil jeda. Saling berbalas senyum.

"Haruskah kita akhiri sore yang indah oleh basah hujan ini di sini?" sahut lelaki itu pasrah.

Perempuan itu menghela napas panjang.

Magetan, 12 Maret 2024




(mmu/mmu)


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO