Cerita Pendek

Hantu yang Menggentayangi Talbot

Nuzul Ilmiawan
|
detikPop
ilustrasi cerpen
Foto: Ilustrasi: Edi Wahyono
Jakarta - "Rumah itu benar-benar berhantu," kata Talbot yang sedang membaringkan dirinya di atas sofa sembari menatap langit-langit dengan meletakkan sebelah tangannya di atas kening. "Tapi, tidak ada yang percaya."

Sosok perempuan berkacamata, Ayu, yang duduk di seberang Talbot, menuliskan sesuatu di buku catatan setiap kali Talbot berbicara. Dan jika Talbot tak bersuara, jarum detik di jam dinding mengeluarkan suara detak yang akan menghuni seisi ruangan. Tetapi, perempuan itu tidak memaksa. Kedua matanya menatap klien di hadapan dengan serius. Sedikit menegang, tetapi kakinya yang sebelah melipat di atas paha menandakan bahwa tubuhnya rileks dan tidak menekan.

Sesi terapi baru saja dimulai dan akan berakhir satu jam kemudian. Talbot sudah sedari lama menginginkan hal ini, tetapi awalnya ia merasa ragu. Terlebih apabila seseorang mengetahui bahwa dia pergi ke psikolog, Talbot takut orang lain menganggapnya gila. Mula-mula dia pikir dirinya baik-baik saja, namun kadang kala, pikiran Talbot sangat ingin menguasai dirinya, seolah-olah ada sosok iblis yang mengajaknya untuk berdansa melingkar pada lubang api hingga membuat Talbot merasa gusar berhari-hari.

"Saya tidak bisa bekerja gara-gara itu," Talbot bercerita, " Entahlah, saya tidak mengerti banyak hal. Tetapi saya tahu pasti tentang satu hal bahwa rumah saya berhantu. Dan orangtua saya tidak pernah mempercayainya."

Dahulu saat Talbot belum sekolah, ia tinggal di perumahan kelas menengah bersama kedua orangtua dan kakeknya. Setiap harinya, Talbot ditinggal karena orangtuanya harus bekerja dari pagi hingga petang. Dia diasuh oleh kakeknya yang jika berjalan selalu membungkuk. Meskipun begitu, kakek masih kuat, bahkan semangat sekali untuk mengurusi rerumputan di halaman belakang. Oleh sebab itulah, apabila Talbot berak di celana, maka kakeknyalah yang membilasnya, dan jika Talbot merasa lapar, kakek akan memasak nasi goreng atau nasi telur ceplok. Kakek juga akan membacakannya cerita-cerita nabi atau kisah kancil dan buaya apabila Talbot menangis.

Talbot sangat suka dibacakan cerita, hingga masa kecilnya dipenuhi oleh khayalan-khayalan yang saban hari saban hidup di dalam kepalanya. Di saat Talbot mandi, sikat gigi akan dijadikannya seorang bajak laut, dan gayung adalah kapal yang menjelajahi luasnya samudera di dalam bak mandi. Begitu pula jika ia main di ruang tamu yang apa adanya itu, maka setiap bidang dan permukaan adalah tanjakan bukit terjal atau atap-atap rumah, dan ia akan melompat dari satu tempat ke tempat lain seolah sedang dikejar oleh seseorang.

Dia senang main sendirian di dalam rumah. Ada kalanya orangtua Talbot akan membelikannya mainan sehingga Talbot tidak merasa sedih saat ditinggal. Orangtuanya tahu betul, tuntutan pekerjaan memaksakan mereka untuk jarang menghabiskan waktu bersama Talbot. Namun apabila akhir pekan tiba, dia akan diajak jalan-jalan ke taman. Orangtuanya pasti menemani Talbot yang senang menaiki mobil baterai atau sekadar berlarian di lapangan. Lantas sebelum pulang, saat makan es krim di pinggir jalan, sebagai anak yang aktif, Talbot banyak bercerita tentang dunia dalam khayalannya. Dan orangtuanya bakal tertawa-tawa.

Sampai suatu hari, Talbot bercerita kepada orangtuanya bahwa setiap tengah malam ia dihampiri oleh sosok hantu yang diam-diam membuka pintu kamar dan berjalan mengendap-endap menghampirinya. Ruangan gelap karena lampu dimatikan. Melalui bayang-bayang, ia melihat hantu itu akan berjalan terlebih dulu menuju jendela di samping meja belajar, kemudian berdiri di depan tirai cukup lama. Talbot yang sedang terbaring di atas kasur hanya dapat bersembunyi di balik selimut, lalu secara tipis-tipis mengintip. Dia tak dapat berteriak karena sensasi yang ia rasakan adalah lumpuh. Seluruh tubuhnya menjadi kaku. Terlebih saat hantu itu merebahkan tubuhnya di samping Talbot.

"Saya tidak ingat dengan pasti karena keseluruhannya terkesan samar-samar. Saya pikir itu hanyalah mimpi. Tetapi, tidak mungkin mimpi yang sama datang berulang kali selama berbulan-bulan."

"Dalam ingatanmu," kata Ayu, "Hantu itu hanya berbaring di samping? Atau ada sesuatu lain yang dia lakukan?"

Talbot merenung, masih menatap langit-langit. Sesekali dia menggaruk-garuk kepalanya dengan wajah cemas. "Sekali lagi, saya tidak tahu pasti. Lagi pula, saat itu saya masih empat atau lima tahun." Talbot sedikit terkekeh, kemudian roman mukanya tiba-tiba menjadi pucat. "Apalah yang diketahui anak seumuran begitu. Jikalau itu bukan hantu, pastilah setan."

Namun Talbot ingat akan suatu hal. Saat dia tiba-tiba terjaga di tengah malam, hantu yang sudah terbaring di sampingnya itu meletakkan tangannya ke atas tubuh Talbot. Seketika tubuhnya merasa kedinginan dan gemetar. Terlebih ia merasakan di bagian pinggul, ada sesuatu yang menyembul keluar seperti daging lembek yang sesekali bergesek-gesek.

Saat itulah Talbot tahu bahwa hantu juga serupa manusia, memiliki napas dan degup jantung. Meskipun Talbot tak berani menoleh karena hantu itu sudah terebah menyamping berhadapan dengan dirinya, tetapi ia dapat merasakan ada udara hangat yang mengibas-ngibas hidungnya. Dan ketika itu pulalah, Talbot menyadari bahwa hantu itu juga serupa ayah dan kakeknya, sama-sama perokok. Aroma tembakau langsung memenuhi ruang hidungnya. Begitu pula Talbot terheran tatkala ia juga mencium bau balsem.

"Hantu ternyata juga masuk angin seperti manusia," kata Talbot.

Namun kala itu, Talbot tidak berani berbuat apa-apa. Dan satu-satunya yang ia dapat lakukan adalah mengenyampingkan tubuhnya membelakangi hantu itu, dan memasukkan keseluruhan badannya ke dalam selimut, termasuk kepala, lalu memaksakan dirinya untuk memejamkan mata. Tetapi nyatanya, hantu itu malah semakin menjadi-jadi menggesek-gesekkan tubuhnya ke pantat Talbot.

"Saya terkejut, saya jadi semakin takut. Tetapi jujur, kala itu ada satu gairah yang membuat saya merasa nyaman diperlakukan seperti itu. Lama-kelamaan saya mulai menikmatinya, meskipun di satu sisi, saya masih ketakutan karena mengira itu adalah hantu. Dan sekarang, saya merasa jijik mengingatnya."

Di saat Talbot berhenti bercerita, Ayu bertanya tentang hubungan Talbot dengan kakeknya. Lalu Talbot menjawab bahwa hubungan keduanya baik-baik saja. Dia mengenang kisah bagaimana kakeknya akan segera menggendong Talbot apabila dia sedang menangis seusai dimarahi oleh ibu atau ayahnya. Kemudian dalam timangan, kakek akan menunjukkan awan-awan putih dan langit biru. Apabila ada burung yang melintas di udara, kakek akan mengarang cerita supaya Talbot kembali ceria. Jika orangtua Talbot duluan tidur dan tidak sempat menemani Talbot, maka kakek akan masuk ke kamar dengan tertatih dan punggung yang sedikit membungkuk, kemudian membacakan suatu cerita dan Talbot akan duduk di paha kakeknya.

Kepala Talbot yang masih mungil suka dielus-elus oleh tangan kakek, sesekali akan dicium pula. Bahkan kakek tidak malu untuk mengelus-ngelus tangan Talbot, tidak serupa kakek-kakek lainnya, dan itu membuat Talbot merasa aman dan tenteram. Dia merasa bebas sekali bersama kakeknya, seolah kakek adalah orangtua Talbot yang sebenarnya. Pasalnya, kakek tidak pernah marah, justru lebih banyak memberikan kasih sayang serta uang jajan melebih orangtuanya sendiri. Sepulang dari warung, kakek pasti tidak lupa membelikan jajanan manis untuk Talbot.

"Sayang sekali saya dengan kakek. Bagaimana mungkin saya dapat lupa pada orang tua itu. Sebagai seorang anak, pastilah menggantungkan kasih sayang kepada orang-orang tua mereka. Tetapi, sebagai anak dari orangtua yang cukup sibuk, saya tidak mendapatkan sepenuhnya kasih sayang itu, kecuali dari kakek."

"Lantas, hubungan kamu dengan kakek saat menginjak usia remaja seperti apa?" tanya Ayu.

Talbot terdiam sejenak, dia mengingat-ingat. "Kakek meninggal sebelum saya menginjak bangku kelas empat. Saya menangis saat kakek dimakamkan. Tetapi setelah itu perlahan-lahan saya mulai jijik dengan diri saya sendiri. Saya bahkan tidak ingat teman-teman SD karena saya lebih sering mengasingkan diri dari mereka. Setiap wajah yang saya temui, wujudnya menyeramkan, seolah-olah ada maksud terselubung dari setiap interaksi yang ada."

Talbot tak memiliki teman sampai sekarang; sebentar lagi ia akan berumur tiga puluh. Tetapi jika dia membutuhkan teman cerita, ada di suatu tempat. Kalau bukan di tempat pelacuran, di gym yang terkadang didatangi oleh Talbot. Hanya saja Talbot tak mengerti perkara yang ada di dalam jiwanya. Seolah roh yang menghuni tubuhnya itu hendak berhenti menjadi roh.

"Saya sering berdansa dengan iblis," kata Talbot yang kini bangkit dari sofa dan berjalan menuju jendela. "Ada sesuatu di dalam diri saya, yang enggan untuk disuruh-suruh. Bahkan ia lebih sering menyuruh-nyuruh saya di luar dari yang saya inginkan. Tak ada tempat untuk pulang, atau bahkan sekedar cerita pun tidak. Seorang laki-laki akan dianggap lemah ketika mereka bersedih, seolah laki-laki dilarang untuk menangis."

Untuk pertama kalinya, Talbot mengeluarkan bungkusan rokok di kantung kemejanya. Kemudian dia mengeluarkannya sebatang selepas meminta izin kepada Ayu, dan Ayu hanya mengangguk kepadanya. Selepas membakar rokok, Talbot bilang, "Lagi pula, saya memang enggan bercerita kepada seseorang. Karena di pikiran saya, apabila saya bercerita, seseorang itu suatu saat akan menjadikan itu sebagai kelemahan untuk menyerang saya."

"Tak ada tempat untuk lari dari dia, sosok yang menghuni tubuh saya ini, kecuali saya mati. Katakan, kenapa kita mesti hidup di saat peluang mati itu selalu terbuka? Tapi saya takut. Untuk sekedar mati pun saya tak mau. Manusia macam apa saya ini!"

Ayu melihat urat-urat menyembul di pelipis Talbot yang sebelumnya sempat berbicara dengan nada tinggi. Muka Talbot merah padam. Kemudian dia berjalan-jalan mengitari tempat yang sama sembari kepalanya ditundukkan. Saat mendengar jarum detik berdetak bersamaan dengan suara jejak kaki yang memijak pada lantai kayu vinil itu, Talbot spontan menghampiri meja kecil di samping Ayu, kemudian menurunkan jam di dinding lalu mencopot baterainya. Sementara Ayu terus sibuk mencatat.

"Maaf," kata Talbot. "Jiwa saya kacau. Saya tahu ada sesuatu yang salah, namun saya tak mengerti sama sekali. Saya pikir yang salah itu lingkungan saya, sehingga saya sering mencoba berpindah-pindah kota, bahkan ke luar negeri. Namun, saya selalu menemukan setan yang sama di mana-mana, yang selalu berdansa dengan saya, yang di baliknya ternyata memiliki suara yang sama dengan saya."

"Demi Tuhan, iblis itu suaranya serupa suara saya!" seru Talbot yang kembali menjatuhkan pantatnya pada sofa, kemudian kepalanya menunduk ditopang oleh kedua tangannya. Suaranya mulai bercampur dengan sedikit tangis.

"Saya yang sakit. Masalahnya itu ada pada saya. Dan saya yang di dalam saya ini sudah tidak mau lagi berperkara dengan diri saya sendiri!" Dia merasa gusar, tangisnya pecah sehingga Talbot sendiri tidak mengerti apa yang sedang diucapkan. Dengan agak terbata-bata dia bilang, "Kamu mengerti maksud saya? Bahwa saya ingin mati, sekaligus saya juga tak ingin mati!" Kemudian Ayu menyodorkan selembar tisu kepada Talbot untuk hidungnya yang sudah meler oleh lendir.

"Kamu tahu apa yang lebih menakutkan? Gara-gara perbuatan hantu itu, saya jadi benci pada semua orang. Ketika saya baru menginjak usia 12 tahun, saya punya seorang adik. Dan saya sama sekali tidak berani mendekatinya, bahkan untuk sekedar menatap wajahnya pun saya takut. Saya menjadi takut pada semua anak kecil. Sebisa mungkin saya menjauhkan diri dari anak-anak, yang hingga sekarang, saya tak tahu apa masalahnya."

"Jiwa saya menjerit-jerit. Keseringan saya tak bisa bangkit dari kasur, bahkan untuk sekedar buang hajat pun saya tidak sanggup. Oleh sebabnya saya sering bergonta-ganti pekerjaan karena tiga bulan atau empat bulan sekali saya pasti dipecat. Entah karena keterlambatan, kinerja yang buruk, atau bolos. Persetan memang mereka itu!"

"Kelaparan tak menjadi masalah, saya lebih baik mati kelaparan daripada hidup terus digentayangi oleh ketakutan kepada diri saya sendiri. Menjadi ada dan hidup itu dua hal yang jauh berbeda. Saya baru mengerti itu. Sekedar menjadi ada, belum tentu hidup. Apa yang saya ketahui tentang hidup adalah rasa takut, dan apa yang saya ketahui menjadi ada adalah keinginan untuk mati."

Ayu mendehem, kemudian bertanya, "Seperti apa keterlibatan hantu itu dengan perasaanmu?"

Talbot menggelengkan kepalanya berulang kali seraya mengosok-gosok kening dengan tangan kanannya. "Saya tak percaya dengan Tuhan. Tidak mungkin saya percaya pada sosok agung yang menciptakan hantu yang dapat mencium manusia penuh hasrat. Saya orang hina, tetapi saya tidak tahu apa-apa tentang hina yang tersemat di pucuk kepala saya ini. Yang saya ketahui, saya benci sekali dengan hantu itu, sekaligus teramat benci dengan kakek saya sendiri, kenapa dia bisa mati!"

"Seharusnya dia dapat hidup untuk seratus tahun lamanya, dan melihat saya menderita, karena sepatutnya neraka yang paling dahsyat untuknya adalah penyesalan. Tapi, apa yang orang mati ketahui tentang penyesalan?" lanjutnya.

Setelah itu keduanya diam, Talbot merapatkan kedua kakinya, kemudian membungkukkan badannya dalam-dalam dengan kedua tangan yang terselimut di bawah perut. Sebelah kaki Talbot tak berhenti bergerak-gerak seperti kejang-kejang. Begitu pula tubuhnya, yang naik-turun berulang-ulang. Dan setiap kali tubuhnya naik ke atas, deru napasnya terdengar keras yang diselingi oleh semacam lendir yang menumpuk di hidung.

"Yang teramat saya benci adalah orangtua saya tak pernah percaya ketika saya bercerita tentang hantu yang menggerayangi tubuh saya sepanjang malam selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Mereka pikir saya mengada-ada atau mengarang cerita. Lagi pula, siapa yang bakal percaya cerita tentang hantu di zaman modern ini. Tapi, ya, begitulah kenyataannya, hantu itu betul-betul ada. Dia menghuni rumah sepanjang hari seolah-olah rumah itu bersih. Barangkali hantu itu juga berjalan-jalan di jalan serupa orang biasa. Mungkin dia juga menanti bus yang sama, berbelanja di warung atau supermarket, bisa jadi pula hantu itu berjualan di pinggir-pinggir jalan depan gerbang sekolah."

"Kita tidak sendiri," ujar Talbot yang tersenyum. Dengan mata merah sekaligus berair, dia mengelap hidungnya dengan tisu. Hingga tak lama kemudian, alarm di jam tangan Ayu berbunyi. Tetapi, Ayu masih belum menyelesaikan catatannya. Sementara Talbot telah menyandarkan punggungnya ke belakang sofa, yang tanpa sengaja ia terus menggetarkan salah satu kakinya.

Talbot berusaha meredam tangis sambil melempar pandangan ke luar. Ruangan itu menjadi kuning keemasan ketika cahaya matahari sore menerobos masuk melalui jendela. Dia mendengar suara klakson mobil di jalanan dan anak-anak kecil tertawa. Lekas segenap lilin di hatinya meredup kembali. Di saat hari yang indah ketika matahari bersinar seolah hujan tak bakal turun, Talbot merasakan kesendirian yang meraung-raung dalam ruangan itu. Dan hatinya basah diguyur oleh satu hujan kesedihan yang dia tahu akan terus menemaninya selama bertahun-tahun.

Tiba-tiba Ayu tersenyum, lantas setelah dia menyelesaikan catatan terakhir, Ayu menutup bukunya kemudian berkata pada Talbot, "Untuk sementara, saya masih belum dapat mendiagnosisnya. Tetapi, terima kasih sudah berbagi. Kita ketemu lagi minggu depan, Talbot."

Lelaki itu berdiri, sebelum berjalan menuju pintu, dia bertanya pada Ayu, "Kamu mempunyai anak kecil?" dan perempuan itu mengangguk, kemudian Talbot melanjutkan, "Jikalau suatu hari anakmu berkata bahwa ada hantu yang diam-diam menyelinap di dalam kamarnya, percayalah, hantu itu betul-betul ada."

"Paling tidak, periksalah dulu!"

2023

Nuzul Ilmiawan mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Andalas, Padang




(mmu/mmu)


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO