Kebiasaan nongkrong sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat urban, termasuk warga Surabaya. Nongkrong bukan sekadar duduk santai dan berbincang, tetapi menjadi cara melepas penat, menjalin pertemanan, dan menikmati suasana kota.
Di tengah padatnya rutinitas kerja atau kuliah, duduk bersama teman di sebuah kafe atau ruang publik bisa menjadi pelarian kecil yang menyegarkan. Fenomena nongkrong ini bukan hal baru di Kota Pahlawan.
Jauh sebelum era media sosial dan coffee shop berkonsep Instagramable menjamur, Surabaya sudah memiliki tradisi tempat berkumpul sejak masa kolonial. Dari gedung-gedung societeit Eropa pada awal abad ke-20 hingga toko-toko legendaris di Jalan Tunjungan, warga kota memiliki kebiasaan ini sudah sejak lama.
Kini, budaya nongkrong di Surabaya terus berevolusi mengikuti zaman. Dari warung kopi sederhana hingga deretan kafe modern yang estetik, setiap generasi memiliki tempat favoritsendiri. Melansir Instagram @tourism.surabaya, berikut penjelasannya.
Awal Mula Berdirinya Tempat Nongkrong di Surabaya
Kebiasaan nongkrong di Surabaya sudah ada sejak masa Hindia Belanda, ketika kota ini berkembang menjadi pusat perdagangan penting di Jawa Timur. Aktivitas sosial dan interaksi antarkelompok masyarakat mulai tumbuh seiring meningkatnya mobilitas penduduk di kawasan perkotaan.
Seiring berdirinya Kota Surabaya sebagai wilayah otonom pada 1 April 1906, berbagai pusat kegiatan sosial pun bermunculan. Tempat-tempat ini menjadi lokasi warga Eropa bersosialisasi dan mengadakan acara kebudayaan, yang dikenal dengan istilah societeit.
Beberapa tempat nongkrong paling bergengsi di awal abad ke-20, antara lain Sociéteit Concordia di Jalan Kromojayan (didirikan tahun 1843, dan kemudian pindah ke Jalan Tunjungan), De Club yang berdiri tahun 1850, dan Marine Sociëteit Moderlust pada tahun 1867.
Bangunan-bangunan ini menjadi tempat kalangan Eropa berkumpul, berdansa, bermain biliar, berpesta, hingga berdiskusi serius tentang politik dan bisnis. Tak kalah terkenal, pada tahun 1907 berdiri De Simpangsche Societeit di simpang empat Jalan Tunjungan, kini dikenal sebagai Balai Pemuda Surabaya.
Tempat ini begitu populer di kalangan Meneer dan Mevrouw pada zamannya sebagai pusat hiburan dan gaya hidup modern. Dibangun arsitek Westmaes, gedung megah ini menjadi ikon kota dan saksi sejarah awal mula budaya nongkrong di Surabaya.
Era 1960-1970
Memasuki tahun 1960-1970-an, gaya nongkrong masyarakat Surabaya mulai bergeser. Jika sebelumnya didominasi kalangan elit Eropa, kini tempat-tempat hiburan mulai menjangkau warga lokal. Jalan Tunjungan menjadi pusat keramaian dengan hadirnya toko legendaris seperti Aurora, Siola, dan Toko Metro.
Gedung Siola, yang resmi dibuka pada tahun 1964, menjadi ikon baru Arek Suroboyo. Nama SIOLA merupakan singkatan dari nama para pemiliknya, yaitu Soemitro, Ing Wibisono, Ong, Liem, dan Ang.
Sebagai pusat perbelanjaan modern pertama di Surabaya, Siola menjadi tempat favorit anak muda dan keluarga untuk jalan-jalan, berbelanja, sekaligus nongkrong santai. Tak jauh dari Siola, terdapat Toko Buku Sari Agung dan Bioskop Aurora yang populer di kalangan pelajar dan mahasiswa pada era 1970-1980-an.
Setelah lelah belajar, mereka biasanya mampir ke Toko Buku Sari Agung dan Bioskop Aurora untuk membaca, menonton film, atau sekadar berbincang di trotoar Tunjungan yang ramai. Suasana nongkrong pada masa itu sederhana, tapi penuh cerita dan nostalgia.
Era 1980-1990
Memasuki tahun 1980-1990-an, Surabaya semakin modern. Muncul pusat-pusat hiburan baru yang menjadi tempat nongkrong populer, seperti Delta Plaza, Tunjungan Plaza, dan Taman Hiburan Rakyat (THR). Nongkrong di mall menjadi gaya hidup baru yang menandai kemajuan kota.
Bagian pertama dari Tunjugan Plaza mulai beroperasi pada 7 Mei 1986. Gedung ini dirancang mengikuti desain arsitektur pertokoan di Jepang, sementara tipe pertokoannya dicomot dari Australia.
Ketika pertama dibuka, tenan Tunjungan Plaza 1 diisi supermarket lokal mulai Varia Supermarket, Rimo, Matahari Department Store (sejak 9 Mei 1986), Tunjungan Optik, potong rambut Rudi Hadisuwarno, Etienne Aigner dan outlet pakaian bermerek lainnya, bioskop Studio Theatre I dan II hingga diskotek Top Ten.
Tak hanya mal, kawasan Wijaya di Jalan Blauran juga terkenal dengan hiburan malam. Di sana ada arena bowling, biliar, dan beberapa bioskop ternama yang ramai dikunjungi generasi muda kala itu. Nongkrong di era ini mulai bertransformasi menjadi kegiatan beragam, dari nonton film, makan malam, hingga menikmati musik.
Tahun 2000
Ketika memasuki era 2000-an, budaya nongkrong di Surabaya semakin semarak dengan kehadiran pusat hiburan dan kuliner modern. Mall-mall baru seperti Galaxy Mall, Pakuwon Trade Center (PTC), Royal Plaza, dan Surabaya Town Square (SUTOS) bermunculan.
SUTOS, misalnya, menjadi ikon nongkrong anak muda Surabaya di awal 2000-an. Suasana semi-outdoor dengan deretan kafe modern menjadikannya tempat favorit untuk nobar bola, kumpul komunitas, hingga hangout malam minggu.
Sementara itu, kawasan kuliner seperti Kya-Kya Kembang Jepun, G-Walk Citraland, dan FoodFest menawarkan suasana santai untuk menikmati aneka kuliner khas Surabaya dan hidangan internasional.
Kafe Kekinian dan Nuansa Nostalgia
Kini, nongkrong di Surabaya tak lagi terbatas di mal atau pusat kuliner saja. Dalam dua dekade terakhir, kota ini dipenuhi kafe dan coffee shop berkonsep unik yang tersebar dari pusat kota hingga ke kawasan pinggiran.
Gaya hidup urban dan kreativitas anak muda turut mendorong munculnya berbagai tempat dengan desain estetik dan suasana yang nyaman untuk bekerja, belajar, maupun bersantai.
Jalan Tunjungan yang dulu dikenal dengan deretan toko legendaris, kini kembali hidup dengan barisan kafe yang memadukan nuansa klasik dan modern. Di sini, bisa nostalgia masa lampau sambil menikmati cita rasa kopi masa kini, perpaduan yang menggambarkan karakter Surabaya sebagai kota bersejarah yang terus maju.
Selain itu, kawasan Kota Lama Surabaya juga menjelma menjadi spot nongkrong bersejarah. Bangunan tua peninggalan kolonial kini disulap menjadi kafe estetik dengan konsep heritage.
Konsep ini menghadirkan pengalaman nongkrong sambil menikmati suasana tempo dulu. Sementara di sekitar Jalan Raya Darmo, berdiri deretan kafe modern yang menawarkan ruang nyaman untuk bekerja, bersantai, atau sekadar menikmati kopi sore.
Dari societeit kolonial hingga coffee shop kekinian, kebiasaan nongkrong di Surabaya terus mengalami transformasi. Meski tempat dan gaya berubah, esensi utamanya tetap sama, yaitu menjadi ruang pertemuan yang mempererat hubungan sosial dan menciptakan cerita baru setiap zamannya.
Simak Video "Video: Aksi Demo di Polrestabes Surabaya Ricuh, Massa Bentrok dengan Aparat"
(ihc/irb)