Bagi Jeff Nielson, kebun kopi bukan sekadar ladang penghasilan, tapi benteng kehidupan. Gagasan itu ia tuangkan dalam buku terbarunya berjudul 'Fortress Farming', yang diluncurkan dalam gelaran Ubud Writers and Readers Festival.
Akademisi Universitas Sydney itu menulis bukunya berdasarkan riset selama dua dekade di berbagai daerah penghasil kopi di Indonesia. Hasil pengamatannya terangkum dalam satu pertanyaan besar: bagaimana masyarakat petani kopi mampu bertahan di tengah sistem agrikultur yang makin kapitalis?
Dalam buku Fortress Farming yang dirilis pada Jumat (31/10/2025), Jeff menyoroti dua komunitas utama, yakni masyarakat Semende di Sumatera Selatan dan Toraja di Sulawesi Selatan. Dua daerah itu ia pilih karena mewakili dinamika agraria yang kompleks dan cara bertahan hidup yang unik.
"Sebenarnya saya sudah penelitian ke banyak tempat. Tapi, yang menjadi fokus dalam buku adalah Semende dan Toraja. Intinya, observasi saya, petani intensif mengurus kopi. Tahu juga budidaya yang baik. Tapi, sering ditelantarkan kebunnya. Mereka hanya melihat itu sebagai 'benteng hidup', tidak akan maju dengan itu. Mereka tidak melihat itu sebagai aset produktif," cerita Jeff dalam wawancara ekslusif bersama detikBali.
Jeff menggambarkan paradoks yang menarik. Para petani justru mendorong anak-anak mereka merantau dan menempuh profesi lain, sementara kebun kopi tetap dipertahankan. Tanah itu bukan lagi sumber ekonomi utama, melainkan jaminan terakhir jika kehidupan di perantauan tak lagi ramah.
Simak Video "Video Petani Kopi di Lampung Barat Tewas Dimangsa Harimau"
(dpw/dpw)