Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi ikut menyikapi dan angkat bicara terkait isu dugaan keterlibatan warga Suku Anak Dalam (Orang Rimba) dalam kasus penculikan bocah 4 tahun bernama Bilqis di Kabupaten Merangin Jambi. Warsi meminta publik tidak terburu-buru menilai dan memberi stigma negatif terhadap komunitas adat tersebut sebelum ada kejelasan hukum yang sah.
"Mengenai pemberitaan yang menyebut keterlibatan Orang Rimba dalam dugaan kasus penculikan anak, Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menilai penting bagi publik untuk memandang persoalan ini secara utuh," kata Antropolog KKI Warsi, Robert Aritonang, dalam keterangan tertulis yang diterima detikSumbagsel, Selasa (11/11/2025).
Menurut Robert, isu ini tidak dapat dilihat hanya dari permukaan karena Orang Rimba sejatinya adalah korban dari situasi sosial, ekonomi, dan struktural yang menjerat mereka selama puluhan tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka kehilangan hutan yang menjadi sumber kehidupan. Ketika ruang hidupnya berubah menjadi perkebunan dan konsesi, mereka kehilangan akses terhadap pangan, air, dan sumber penghidupan. Dalam kondisi semacam itu, Orang Rimba sangat rentan dimanfaatkan oleh pihak luar yang memiliki kepentingan tertentu," ujar Robert.
Kelompok yang disebut terlibat dalam kasus ini adalah Orang Rimba Sawitan, yang hidup di wilayah sekitar perusahaan besar. Hilangnya ruang hidup telah menimbulkan apa yang disebut Robert sebagai 'crash landing sosial' kondisi di mana Orang Rimba tiba-tiba harus berhadapan dengan perubahan dunia luar yang tidak mereka pahami.
"Dalam situasi yang tidak mereka mengerti, Orang Rimba bisa dengan mudah percaya pada cerita atau bujukan dari orang luar. Mereka tidak sepenuhnya memahami konsekuensi dari tindakan yang mereka lakukan," tambahnya.
Dugaan Perdagangan Anak
Berdasarkan keterangan Begendang, yakni orang Rimba Jambi, kata Robert jika istrinya Begendang didatangi seorang orang luar membawa seorang anak perempuan bernama Bilqis ke kelompok mereka di sekitar Mentawak, Merangin. Si orang luar ini, meminta untuk merawat anak ini karena anak berasal dari keluarga kurang mampu dan tidak sanggup membiayai kehidupan anak tersebut.
"Penyerahan anak ini disertai selembar surat bermeterai Rp 10 ribu yang menyatakan bahwa anak ini diserahkan oleh ibu kandungnya, dan tidak akan ada tuntut menuntut di kemudian hari. Namun, sekitar dua hari anak tersebut bersama kelompok ini, ada informasi tentang penculikan. Begendang pun menyerahkan anak tersebut ke pihak berwenang," terang Robert.
Pentingnya melihat akar masalah, Robert dari KKI Warsi menegaskan bahwa dalam kasus ini, orang rimba korban dari sistem yang lebih besar, korban dari kemiskinan struktural, kehilangan wilayah hidup, dan ketidakadilan sosial.
"Ada pihak lain yang memanfaatkan kerentanan mereka. Melalui narasi palsu, janji ekonomi, atau bujukan emosional, Orang Rimba dijadikan alat dalam jejaring kejahatan yang mereka sendiri tidak pahami," tegas Robert.
Selama ini, Orang Rimba dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kehidupan, menjaga hutan, dan hidup dengan adat yang menghindari konflik. Labelisasi negatif akibat tindakan segelintir orang justru dapat memperparah stigma dan diskriminasi terhadap seluruh komunitas.
KKI Warsi menyerukan agar penegakan hukum dan pemberitaan media dilakukan dengan perspektif perlindungan terhadap kelompok rentan. Publik dan aparat diminta berhati-hati agar tidak menjadikan Orang Rimba kambing hitam atas persoalan sosial yang lebih luas.
"Yang perlu diusut bukan hanya siapa yang terlibat, tetapi siapa yang memanfaatkan Orang Rimba dan menciptakan kondisi yang membuat mereka terjebak dalam situasi ini," tegas Robert Aritonang.
Kasus ini diharapkan menjadi momentum untuk melihat secara utuh problematika Orang Rimba, dan mulai langkah-langkah untuk pemulihan persoalan sosial mereka, dengan memperluas akses terhadap pendidikan, layanan dasar, dan pengakuan hak atas wilayah hidup.
Selama ini, Warsi kata Robert aktif mendampingi komunitas Orang Rimba di berbagai wilayah Jambi untuk mendorong akses pendidikan, kesehatan, dan perlindungan hukum. Menurutnya, pemberitaan yang tidak berimbang bisa memperburuk stigma sosial terhadap kelompok adat yang masih rentan secara sosial dan ekonomi.
Sebelumnya diberitakan, Bilqis sempat dilaporkan hilang di Taman Pakui Sayang Makassar pada Minggu (2/11). Setelah enam hari pencarian, Bilqis ternyata telah menjadi korban perdagangan anak hingga ditemukan di Kabupaten Merangin, Jambi, Sabtu (8/11) malam.
Polisi yang mengusut kasus ini telah menangkap empat pelaku dari berbagai daerah, yakni wanita inisial SY (30) warga Makassar, wanita NH (29) warga Sukoharjo, wanita MA (42) warga Merangin, serta pria AS (36) warga Merangin.
Atas perbuatannya, keempat tersangka dijerat Pasal 63 juncto Pasal 76 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 2 Ayat 1, 2 juncto, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Simak Video "Video: Momen Bilqis Bocah Korban Penculikan Disambut Warga saat Tiba di Makassar"
[Gambas:Video 20detik]
(dai/dai)











































