Mitos Kemponan dan Tata Krama Saat Diberi Hidangan di Kalimantan

Mitos Kemponan dan Tata Krama Saat Diberi Hidangan di Kalimantan

Bayu Ardi Isnanto - detikKalimantan
Rabu, 22 Okt 2025 11:00 WIB
Tradisi Beseprah. Foto: laman Prokopim Kutai Kartanegara
Ilustrasi menyantap hidangan. Foto: laman Prokopim Kutai Kartanegara
Balikpapan -

Di Kalimantan, dikenal istilah kemponan yang sudah menjadi kearifan lokal, baik oleh masyarakat Dayak maupun Melayu. Tradisi ini berkaitan dengan tata krama ketika diberi hidangan, dan ada mitos tentang nasib buruk jika dilanggar.

Bahkan hal ini juga diceritakan dalam dongeng atau cerita rakyat di Kalimantan, sehingga tradisi ini terus terjaga hingga sekarang. Yuk kenali apa itu kemponan, cara mencegah, dan cerita rakyat tentang kemponan.

Apa Itu Kemponan?

Dikutip dari situs Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, kemponan dipahami sebagai sebuah kondisi ketika seseorang diyakini akan mengalami kesialan atau musibah karena tidak mencicipi makanan atau minuman yang ditawarkan, atau karena melanggar aturan adat yang berkaitan dengan jamuan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada masyarakat Dayak, kemponan sering disebut juga pahuni atau kepuhunan, dan dianggap sebagai gangguan yang muncul ketika seseorang tidak selaras dengan "irama alam" atau mengabaikan kewajiban berbagi dengan roh halus.

Misalnya, ada makanan tertentu seperti ketan, kopi, wadi, atau tuak yang dipercaya harus dibagi, bukan hanya untuk manusia tetapi juga untuk makhluk gaib. Bila aturan ini dilanggar, orang tersebut diyakini bisa tersesat, sakit, atau mengalami kecelakaan.

Sementara itu, dalam masyarakat Melayu, dikutip dari Handep: Jurnal Sejarah dan Budaya Vol 3, No 1, Desember 2019 dari Universitas Pendidikan Indonesia, kemponan muncul dari anggapan bahwa menolak suguhan berarti tidak menghargai pemberi, sehingga menimbulkan rasa takut akan datangnya bala.

Orang yang kemponan dipercaya bisa jatuh, terluka, bahkan meninggal, apabila tidak segera melakukan tindakan pencegahan. Dengan demikian, kemponan tidak hanya berhubungan dengan dunia gaib, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk menanamkan nilai saling menghormati, menjaga hubungan antarindividu, serta mengingatkan manusia agar selalu menghargai makanan dan pemberiannya.

Cara Mencegah Kemponan

Jika sedang terburu-buru atau tidak sengaja meninggalkan makanan, ada cara yang dipercaya bisa mencegah kemponan yang menimbulkan hal negatif. Berikut beberapa caranya:

1. Minjok

Dalam tradisi Dayak, meskipun seseorang sudah kenyang, ia tetap dianjurkan untuk minjok, yaitu menyentuh atau mencicipi sedikit makanan yang disuguhkan. Tindakan sederhana ini sering disertai ucapan khusus seperti "sapulun" atau "puse-puse".

Ini berfungsi sebagai tanda penghormatan kepada tuan rumah sekaligus sebagai penolak bala. Dengan begitu, seseorang dianggap tidak menolak suguhan dan terhindar dari kemponan.

2. Berbagi dengan Roh Halus

Orang Dayak berkeyakinan bahwa makanan atau minuman tertentu, seperti ketan, kopi, wadi, dan tuak tidak boleh dikonsumsi sepenuhnya oleh manusia. Sebagian kecil dari sajian itu harus "dibagi" kepada roh halus, biasanya dengan cara meletakkannya di tempat tertentu.

Praktik ini diyakini menjaga keseimbangan antara manusia dan dunia gaib, sehingga orang yang bersangkutan tidak diganggu atau ditimpa kesialan.

3. Jamah

Dalam budaya Melayu Kalimantan, dikenal jamah yang mirip dengan minjok. Cara Seseorang cukup menyentuh sedikit makanan atau minuman yang dihidangkan dengan jari, lalu menyapukannya ke lidah atau leher.

Tindakan ini menjadi simbol bahwa suguhan sudah dicicipi, sehingga tidak dianggap menolak. Dengan begitu, orang tersebut diyakini terhindar dari bala yang mungkin datang akibat kemponan.

4. Cempalet

Jika seseorang lupa mencicipi makanan atau minuman yang disiapkan oleh keluarga, ia bisa melakukan cempalet. Misalnya ketika sudah disiapkan makanan oleh ibu, tapi lupa memakannya, maka melakukan cempalet.

Caranya adalah dengan menyentuh makanan, minuman, atau sesuatu yang lembut sambil membayangkan makanan tadi, kemudian menyentuhkannya ke leher sambil mengucapkan "cempalet kemponan (dan menyebut makanan yang ditinggalkan)."

5. Palet

Ada kalanya seseorang hanya bisa melihat makanan atau minuman yang sangat diinginkan, tetapi tidak bisa menikmatinya. Kondisi seperti ini juga bisa menyebabkan kemponan.

Maka ia dapat melakukan palet, yaitu menyentuh lidah atau leher sambil menyebut "palet kemponan (dan menyebut makanan yang diinginkan)." Dengan cara ini, rasa ingin yang tidak terpenuhi tidak akan berubah menjadi kemponan yang membawa musibah.

Mitos Kemponan dalam Cerita Rakyat

Mitos kemponan dikisahkan dalam cerita rakyat dari Kalimantan Timur. Berikut kisahnya yang dikutip dari buku Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Timur dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan:

Kemponan dan Batu Belah

Di sebuah dusun jauh dari kota, hiduplah seorang janda bersama dua anaknya. Anak sulungnya perempuan berusia sepuluh tahun, sementara adiknya baru berumur setahun. Sang suami sudah lama meninggal, tepat ketika si janda masih mengandung anak bungsunya.

Untuk bertahan hidup, ia berhuma dan berkebun. Pisang, ubi, kedelai, dan berbagai tanaman lain tumbuh di kebunnya. Hasil huma cukup untuk makan setahun, sementara hasil kebun dijual untuk membeli pakaian dan kebutuhan lain.

Di waktu senggang, ia juga memasang lukah untuk menangkap ikan. Ikan hasil tangkapan dimakan bersama anak-anaknya, sisanya dijual untuk tambahan belanja.

Suatu hari, ia beruntung mendapatkan seekor ikan betutu sebesar paha. Karena sudah lama ia mengidamkan hati betutu, ikan itu tidak dijual. Kepala ikan dimasaknya jadi sayur asam, tubuhnya dipais, bagian ekornya diberetus, dan hatinya dibakar.

Saat nasi sudah matang, lauk pun siap. Perempuan itu sudah tak sabar ingin makan. Ia memanggil anaknya, "Nak, bawa adikmu, baringkan di sini. Kita makan, perut ibu sudah lapar sekali."

Namun, ketika hendak menyantap hidangan, anaknya meminta air minum. Ia pun mengambil wadah air dari labu, tapi ternyata kosong. Ia lalu berpesan pada anaknya, "Ibu mau ambil daun pisang dulu untuk bungkus pais." Dengan tergesa, ia berjalan ke tepian sungai sambil membawa wadah air dan sebilah pisau.

Di tepi sungai, ia duduk di atas batu besar untuk mengambil air. Saat hendak bangkit, tiba-tiba kakinya terasa lengket, seolah menempel pada batu. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari kakinya mulai ditelan batu belah. Semakin ia berusaha menarik, semakin dalam ia tenggelam. Saat itu terdengar suara dari batu.

"Engkau kutelan karena kemponan hati betutu. Makanan sudah di depanmu, tapi kau tinggalkan tanpa mencicipinya. Itu kemponan besar, tak ada tawarnya lagi."

Barulah ia sadar, ia melanggar pesan orang tua, yaitu jangan pernah meninggalkan makanan yang sudah dihidangkan tanpa mencicipinya. Dengan sedih ia berteriak, "Kemponan aku, kemponan hati betutu!"

Anak sulungnya yang mendengar teriakan itu segera berlari ke tepian sambil menggendong adiknya. Ia melihat ibunya sudah ditelan batu hingga dada. Sambil menangis, ia memohon, "Batu belah, jangan telan ibuku. Ayah sudah tiada, siapa lagi yang akan menjaga kami?"

Sang ibu, dengan sisa tenaga, berpesan, "Anakku, bawa adikmu kemari, biar kususui untuk terakhir kali." Setelah itu, ia mengerat susu kirinya dan memberikannya pada anaknya. "Tanamlah ini di depan pondok. Seminggu kemudian akan tumbuh pohon dengan bunga harum yang tak pernah layu. Jika adikmu menangis merindukanku, ciumkan tujuh helai rambutku ini padanya, dan ambilkan bunganya. Ia akan tenang kembali."

Tak lama kemudian, sang ibu lenyap ditelan batu belah. Anak sulungnya meraung sedih, lalu pulang ke pondok sambil membawa adiknya, potongan susu kiri, dan tujuh helai rambut ibunya.

Benar saja, seminggu kemudian tumbuhlah pohon ajaib di depan pondok. Pohon itu bercabang tujuh, tiap cabang beranting tujuh, dan tiap ranting bercabang lagi. Daunnya berkilau keemasan, bunganya harum semerbak, tak pernah layu. Setiap kali adiknya menangis, cukup dibawa ke bawah pohon itu untuk mencium bunganya, dan tangisnya pun reda seolah sudah kenyang menyusu.

Berita tentang pohon ajaib itu menyebar ke seluruh negeri. Banyak orang datang menyaksikan, dan mereka yang iba memberi bantuan pada dua anak yatim piatu itu. Hingga akhirnya, kabar itu sampai ke istana.

Putra raja pun datang melihat pohon ajaib, dan di sanalah ia bertemu dengan si gadis pemilik pohon. Pandangan pertama membuat keduanya jatuh cinta. Sang pangeran pun sering datang menyamar, hingga akhirnya ibunda permaisuri mengetahui dan merestui hubungan mereka.

Halaman 3 dari 2
(bai/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads