Nyanggar dan Babarasih Banua: Akulturasi Tradisi Dayak-Islam di Kumai

Bayu Ardi Isnanto - detikKalimantan
Selasa, 21 Okt 2025 07:01 WIB
Tradisi budaya Nyanggar dan Babarasih Banua di Kumai, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Foto: dok YouTube Diskominfo Kotawaringin Barat
Kotawaringin Barat -

Nyanggar dan Babarasih Banua adalah tradisi budaya di Kecamatan Kumai, Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah. Tradisi ini merupakan warisan leluhur yang masih dijalankan hingga kini, sebagai wujud penghormatan pada perjanjian nenek moyang.

Dikutip dari situs Pemkab Kobar, tradisi ini juga menjadi daya tarik wisata bagi pengunjung yang singgah menuju Taman Nasional Tanjung Puting. Simak asal-usul, pelaksanaan, hingga nilai-nilai di baliknya.

Asal-usul Nyanggar dan Babarasih Banua

Dikutip dari studi Nilai-Nilai Upacara Adat Nyanggar dan Babarasih Banua di Kecamatan Kumai Kalimantan Tengah: Kajian Folklor dari UIN Raden Mas Said Surakarta, tradisi Nyanggar dan Babarasih Banua memiliki akar bahasa dan budaya yang berbeda.

Istilah Nyanggar berasal dari bahasa Dayak yang berarti memberikan sesajen kepada makhluk halus penghuni sungai-sungai keramat, sedangkan Babarasih Banua berasal dari bahasa Melayu yang berarti membersihkan tempat tinggal.

Upacara ini awalnya merupakan tradisi suku Dayak yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Bubuhan Kumai dengan penyesuaian nilai-nilai Islam. Prosesi adat tersebut erat kaitannya dengan laut, dipandang sebagai ungkapan syukur sekaligus sarana tolak bala.

Selain sebagai wujud terima kasih kepada Allah atas rahmat dan rezeki, tradisi ini juga menjadi bentuk penghormatan kepada leluhur yang telah menjaga dan memperjuangkan wilayah setempat.

Rangkaian upacara ini berlangsung panjang, bahkan bisa sampai 40 hari 40 malam, dengan tiga tahapan utama: persiapan (Nyanggar), pelaksanaan (Babarasih Banua), dan penutup berupa doa-doa.

Tradisi budaya Nyanggar dan Babarasih Banua di Kumai, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Foto: dok YouTube Diskominfo Kotawaringin Barat

Pelaksanaan Ritual Nyanggar dan Babarasih Banua

Pelaksanaan ritual Nyanggar dan Babarasih Banua dibagi menjadi tiga, mulai dari persiapan, pelaksanaan, dan penutup. Berikut penjelasannya, dikutip dari Ritual Babarasih Banua sebagai Upacara Tolak Bala bagi Masyarakat Kumai dari situs Universitas Lambung Mangkurat.

1. Persiapan

Ritual dimulai dengan serangkaian persiapan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Beberapa hal utama yang dilakukan antara lain:

  • Pembuatan sanggar, sebagai tempat meracik sesaji, menyiapkan perlengkapan adat, sekaligus dapur bagi kaum ibu untuk memasak makanan dan kue-kue ritual.
  • Pembuatan Rumah Tiang Tunggal, rumah adat dengan satu tiang yang menjadi pusat kegiatan sekaligus tempat tinggal pemimpin upacara.
  • Pembuatan pentas tradisional, yang digunakan untuk menampilkan kesenian daerah selama prosesi berlangsung, seperti tari Tirik, Jipen, Rudad, hingga pencak silat.
  • Perlengkapan sesaji yang disiapkan meliputi Rumah Tiang Tunggal, Rumah Pamedangan, Balai Tujuh, Lancang, 41 jenis wadai (masing-masing tujuh buah), seekor kambing, serta tujuh ekor ayam untuk ditempatkan di tujuh lokasi berbeda.

2. Prosesi Ritual

Pelaksanaan inti ditandai dengan iring-iringan perahu yang membawa sesaji menuju titik-titik sakral di sepanjang Sungai Kumai, yaitu:

  • Sungai Nyirih: Rumah Tiang Tunggal
  • Sungai Tendang: Lancang
  • Sungai Panggung: Lancang dan pemotongan kambing
  • Sungai Kapitan: Lancang
  • Sungai Sekonyer: Rumah Pamedangan
  • Sungai Pasir Panjang: Rumah Balai Tujuh
  • Muara Sungai: Pelepasan miniatur perahu

3. Penutup

Setelah seluruh rangkaian selesai, ritual ditutup dengan makan bersama yang diikuti oleh pelaksana adat dan seluruh warga. Momen ini menjadi simbol kebersamaan, syukur, dan pengikat solidaritas masyarakat Bubuhan Kumai.




(bai/aau)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork