Cerita Kepala SMP di Nunukan Malu Dikunjungi Tamu dari Malaysia

Cerita Kepala SMP di Nunukan Malu Dikunjungi Tamu dari Malaysia

Oktavian Balang - detikKalimantan
Selasa, 02 Des 2025 06:00 WIB
Kegiatan belajar mengajar siswa SMPN 1 Lumbis Pansiangan di Balai adat desa.
Kegiatan belajar mengajar siswa SMPN 1 Lumbis Pansiangan di Balai adat desa. Foto: dok SMPN 1 Lumbis Pansiangan
Nunukan -

Di ujung utara Kalimantan, di mana sungai menjadi satu-satunya urat nadi transportasi, berdiri sebuah sekolah bernama SMP Negeri 1 Lumbis Pansiangan, Labang, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Sekolah ini menjadi bukti bahwa pendidikan di Indonesia belum merata.

Sekolah yang secara administrasi sah berdiri sejak 2021 lewat Keputusan Bupati ini masih harus 'menumpang' tempat. Itu pun bangunannya masih jauh dari kata layak.

Ironi terasa ketika fasilitas pendidikan di Nunukan dibandingkan dengan sekolah di Sabah, Malaysia yang bertetangga dengan Nunukan. Bahkan ada hal yang membuat malu, misalnya ketika ada kunjungan dari Malaysia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diceritakan Kepala Sekolah SMPN 1 Lumbis Pansiangan, Sutrisno, pihaknya dua kali menerima kunjungan tamu asing, yakni guru dari Malaysia pada 2022 dan 2023. Bukannya bangga, yang dirasakan justru rasa sungkan dan malu.

"Betul, saya sebagai Kepsek juga malu," ungkap sang Kepala Sekolah kepada detikKalimantan, Senin (1/12/2025).

"Sudah dua kali kunjungan guru-guru dari Malaysia datang ke tempat kami. Kami terima di gedung SDN yang kami pinjam," tambahnya.

Kenyataan pahit itu terpampang jelas. SMPN 1 Lumbis Pansiangan belum memiliki gedung sendiri. Siswa SMP harus berbagi atap dengan SDN 001 Lumbis Pansiangan. Sekolah ini menampung siswa dari Desa Labang, Desa Sumontobol, dan Desa Panas.

"SD tersebut memiliki 5 ruang kelas, SMP meminjam 2 rombel (rombongan belajar), dan SD memakai 3 rombel secara bergantian," ucapnya.

"Seyogyanya SD itu ada 6 kelas dan SMP ada 3 kelas. Jadi hitungan kasarnya, kami masih kekurangan 4 kelas lagi," jelasnya merinci defisit infrastruktur yang krusial tersebut.

Dia sempat melakukan kunjungan balasan ke Malaysia, tepatnya ke Community Learning Center (CLC) Budi Luhur, tempat bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Sabah bersekolah.

Di sana ada 700 siswa anak TKI yang diajar oleh 12 orang guru. Kondisi yang sangat memprihatinkan dari rasio guru dan murid.

"Saya ditanya di sana, 'Bisakah bapak menampung siswa dari sini untuk bersekolah di tempat bapak?'," kenangnya menirukan pertanyaan rekan guru di Malaysia.

Sutrisno pun menolak secara halus karena gedung sekolahnya tidak cukup menampung anak-anak TKI sebanyak itu. Padahal, jika dilihat dari akses, jarak lokasi anak-anak TKI tersebut ke Lumbis Pansiangan sebenarnya masih terjangkau.

"Kalau saja ada gedung dan asrama, bisa saja kita bantu saudara-saudara kita yang ada di negara tetangga. Sekolah mereka di sana memprihatinkan, ditambah tenaga pendidik yang kurang," harapnya.

Tak Ada Jalan Aspal Mulus

Tantangan SMPN 1 Lumbis Pansiangan bukan hanya soal gedung, tapi juga alam. Tidak ada jalan aspal mulus, yang ada hanyalah sungai dengan riam (giram) yang ganas.

"Saya maklum akses ke tempat kami hanya bisa ditempuh lewat sungai. Kalau air kecil ada giram yang harus dilewati, kalau air banjir arusnya cukup deras," tuturnya.

Anak-anak dari Desa Panas dan Sumontobol harus bertaruh nyawa melewati giram tersebut. Demi keamanan, sebagian besar siswa dari desa-desa terjauh ini memilih tinggal menumpang bersama keluarga di Desa Labang, lokasi di mana sekolah (yang menumpang) itu berada.

Kearifan lokal pun masih sangat kental mewarnai dinamika pendidikan di sana. Pembelajaran terkadang dilakukan di Balai Adat Desa. Namun, jika ada hajatan warga seperti pernikahan atau kematian, sekolah otomatis diliburkan demi menghormati adat istiadat setempat.

Halaman 4 dari 3


Simak Video "Video: Pangdam Mulawarman Bicara Penyebab Anggota TNI Serang Mapolres Tarakan"
[Gambas:Video 20detik]
(bai/bai)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads