Puluhan Tahun Bertahan, Kampung Dandang di Jalur Rel Ini Masih Eksis

Kampung ini terbilang unik karena berada tepat di jalur lintasan kereta api yang masih aktif. Namun kondisi tersebut tak menghalangi warga untuk tetap beraktivitas dan produktif. Kampung ini dikenal dengan sebutan Kampung Dandang.
Saat memasuki kawasan kampung, suasana pasar tradisional tampak ramai setiap pagi. Semakin ke dalam permukiman, terdengar dentingan logam khas aktivitas pembuatan dandang atau penanak nasi tradisional.
Hingga kini, terdapat tujuh rumah yang masih aktif memproduksi dandang secara manual. Salah satunya milik Mulyadi, generasi kedua pengrajin dandang di Kampung Dandang. Ia meneruskan usaha sang ayah, Matari, dengan merek Dandang Moroseneng.
Mulyadi mengaku tak mengetahui pasti sejak kapan kampung tersebut disebut Kampung Dandang. Namun, sejak ia belum lahir, sebutan itu sudah melekat.
Menurutnya, pada masa lalu permintaan dandang sangat tinggi. Ayahnya bisa memproduksi hingga 30 dandang per hari, bahkan mencapai 50 buah saat Pasar Turi masih beroperasi.
Seluruh proses pembuatan dandang dilakukan secara manual, mulai dari mengukur, memotong aluminium, menempa, hingga merakit badan, alas, saringan, dan tutup dandang.
Kini Mulyadi dibantu tiga pekerja, yakni Cholis, Hadi, dan Tego, yang telah puluhan tahun menekuni profesi tersebut. Pesanan dandang tak hanya datang dari Surabaya, tetapi juga dari luar kota hingga luar pulau seperti NTT, Maumere, dan Papua.
Meski mengandalkan alat sederhana dan sebagian buatan sendiri, kualitas dandang Moroseneng diakui lebih tebal dan kuat dibandingkan produk pabrikan. Ketebalan aluminium mencapai 0,8 hingga 1 milimeter, menyesuaikan ukuran dan pesanan.
Mulyadi menyebut, dandang buatannya bisa bertahan hingga lima tahun pemakaian, tergantung perawatan pengguna.
Kampung ini terbilang unik karena berada tepat di jalur lintasan kereta api yang masih aktif. Namun kondisi tersebut tak menghalangi warga untuk tetap beraktivitas dan produktif. Kampung ini dikenal dengan sebutan Kampung Dandang.
Saat memasuki kawasan kampung, suasana pasar tradisional tampak ramai setiap pagi. Semakin ke dalam permukiman, terdengar dentingan logam khas aktivitas pembuatan dandang atau penanak nasi tradisional.
Hingga kini, terdapat tujuh rumah yang masih aktif memproduksi dandang secara manual. Salah satunya milik Mulyadi, generasi kedua pengrajin dandang di Kampung Dandang. Ia meneruskan usaha sang ayah, Matari, dengan merek Dandang Moroseneng.
Mulyadi mengaku tak mengetahui pasti sejak kapan kampung tersebut disebut Kampung Dandang. Namun, sejak ia belum lahir, sebutan itu sudah melekat.
Menurutnya, pada masa lalu permintaan dandang sangat tinggi. Ayahnya bisa memproduksi hingga 30 dandang per hari, bahkan mencapai 50 buah saat Pasar Turi masih beroperasi.
Seluruh proses pembuatan dandang dilakukan secara manual, mulai dari mengukur, memotong aluminium, menempa, hingga merakit badan, alas, saringan, dan tutup dandang.
Kini Mulyadi dibantu tiga pekerja, yakni Cholis, Hadi, dan Tego, yang telah puluhan tahun menekuni profesi tersebut. Pesanan dandang tak hanya datang dari Surabaya, tetapi juga dari luar kota hingga luar pulau seperti NTT, Maumere, dan Papua.
Meski mengandalkan alat sederhana dan sebagian buatan sendiri, kualitas dandang Moroseneng diakui lebih tebal dan kuat dibandingkan produk pabrikan. Ketebalan aluminium mencapai 0,8 hingga 1 milimeter, menyesuaikan ukuran dan pesanan.
Mulyadi menyebut, dandang buatannya bisa bertahan hingga lima tahun pemakaian, tergantung perawatan pengguna.