Produksi Bendo Ala Pande Besi yang Eksis 53 Tahun di Mojokerto

Sulkan (66) menjadi satu-satunya pande besi tradisional yang masih eksis di Desa Watesumpak, Trowulan, Mojokerto.
Suami Rupi ini mempertahankan teknik warisan leluhurnya untuk memproduksi aneka alat pertanian, termasuk bendo.
Setiap harinya, Sulkan bekerja di bengkel sederhana belakang rumah adiknya, Dusun Jatisumber, Desa Watesumpak. 

Ia dibantu adik kandungnya, Suyopo (55) dan keponakannya, Jumain (35). Mereka memproduksi alat-alat pertanian, seperti sabit, bendo, parang, pedang dan cangkul.
Untuk membuat 1 peralatan tajam, mereka lebih dulu menempa pelat besi berulang kali. Pelat besi dan baja mereka beli dari pengepul rongsokan Rp 10-12 ribu/Kg.
Pembakarannya hanya menggunakan arang yang baranya dialiri udara dari blower elektrik. Sejak 1971 sampai 1990, Sulkan menggunakan alat tradisional bernama ubup untuk mengalirkan udara ke bara arang.
Mereka membentuk gagang secara manual dengan bantuan tali tambang, pahat dan sandaran kayu. Pemasangan bilah ke gagang menjadi tahap akhir.
Setiap harinya pukul 08.00-14.00 WIB, Sulkan dan keluarganya menghasilkan 8-10 peralatan tajam. Para pembeli lah yang selalu datang ke bengkelnya. Harga produknya pun bervariasi, mulai dari pisau dapur Rp 35.000, bendo Rp 100.000, sabit Rp 90.000, sampai cangkul Rp 150-300 ribu.

Sulkan (66) menjadi satu-satunya pande besi tradisional yang masih eksis di Desa Watesumpak, Trowulan, Mojokerto.
Suami Rupi ini mempertahankan teknik warisan leluhurnya untuk memproduksi aneka alat pertanian, termasuk bendo.
Setiap harinya, Sulkan bekerja di bengkel sederhana belakang rumah adiknya, Dusun Jatisumber, Desa Watesumpak. 
Ia dibantu adik kandungnya, Suyopo (55) dan keponakannya, Jumain (35). Mereka memproduksi alat-alat pertanian, seperti sabit, bendo, parang, pedang dan cangkul.
Untuk membuat 1 peralatan tajam, mereka lebih dulu menempa pelat besi berulang kali. Pelat besi dan baja mereka beli dari pengepul rongsokan Rp 10-12 ribu/Kg.
Pembakarannya hanya menggunakan arang yang baranya dialiri udara dari blower elektrik. Sejak 1971 sampai 1990, Sulkan menggunakan alat tradisional bernama ubup untuk mengalirkan udara ke bara arang.
Mereka membentuk gagang secara manual dengan bantuan tali tambang, pahat dan sandaran kayu. Pemasangan bilah ke gagang menjadi tahap akhir.
Setiap harinya pukul 08.00-14.00 WIB, Sulkan dan keluarganya menghasilkan 8-10 peralatan tajam. Para pembeli lah yang selalu datang ke bengkelnya. Harga produknya pun bervariasi, mulai dari pisau dapur Rp 35.000, bendo Rp 100.000, sabit Rp 90.000, sampai cangkul Rp 150-300 ribu.