Banjir menjadi salah satu risiko kebencanaan paling besar pada akhir tahun 2025. Akademisi menekankan bahwa penanganan banjir tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama di setiap wilayah, melainkan harus disesuaikan dengan tingkat bahaya berdasarkan zona risiko masing-masing.
Dosen Teknik Geofisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Dr. Amien Widodo, dalam Webinar Usulan Perubahan Peta Kawasan Rawan Bencana, menjelaskan bahwa penilaian risiko banjir idealnya memperhatikan detail spesifik sesuai segmen masyarakat maupun jenis infrastruktur yang terdampak.
Dalam pemaparannya, Amien menjelaskan bahwa klasifikasi bahaya banjir memiliki struktur yang kompleks karena melibatkan banyak variabel teknis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Klasifikasi hazard (potensi bahaya) lebih komplit sekali, misalnya kecepatan air di kali kedalaman air akan terjadi sedikit delay (keterlambatan) dari sebuah kebencanaan. Hasil penelitian menunjukkan hazard untuk orang dewasa, hazard untuk keluarga, hazard untuk anak-anak berbeda. Jadi perlu dipahami juga lebih lanjut," kata Amien dalam webinar bersama Pusat Studi Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (MKPI) ITS.
Ia menambahkan bahwa kajian tersebut tidak hanya menyasar manusia, tetapi juga mempertimbangkan dampak terhadap berbagai jenis kendaraan dan bangunan.
"Misalnya ini untuk small cars (mobil kecil), large cars (mobil besar), large tow truck (truk gandeng besar). Adanya extreme hazard to structure (potensi bahaya untuk struktur) harus diklasifikasikan pula," papar Amien lebih lanjut.
Amien kemudian menyoroti pentingnya memahami parameter teknis lain yang umum digunakan dalam standar internasional penilaian bahaya banjir.
"Ini ada threshold, probability, stability, dan flux. Nah ini contoh-contoh dari beberapa negara, mulai dari H1 sampai H6, dan lain-lain. Gambarnya seperti ini. Sudah sama," papar Amien menunjukkan gambar Hazard Classification.
Gambar Klasifikasi Hazard Foto: Istimewa |
Salah satu aspek yang menurutnya kerap luput diperhatikan adalah keberadaan debris atau material yang terbawa arus. Amien menekankan bahwa debris menjadi faktor yang sangat menentukan tingkat bahaya.
"Debris (material bencana) itu lebih berbahaya jika terjadi bencana," urainya.
Ia mencontohkan kejadian banjir bandang di Semeru yang membawa material dalam jumlah besar.
"Jadi batu-batu bisa terbawa. Dan ini kan cuma sungai yang bawa pasir, bawa batu bisa terbawa. Sekarang terjadi di Semeru seperti ini. Ini banjir bandang. Ini material yang terangkut. Jadi yang membunuh itu material terangkut," tegasnya.
Menurut Amien, parameter bahaya banjir seharusnya mencakup berbagai kombinasi kondisi aliran dan karakteristik genangan.
"Jadi ada beberapa kriteria banjir. Dangkal, sedang, dan dalam. Lalu laju arusnya lambat, sedang, cepat. Terus lama genangan itu cepat, sedang, lambat dan lain-lain," tuturnya.
Ia menambahkan bahwa parameter tersebut dapat diterapkan tidak hanya pada banjir genangan, tetapi juga banjir bandang.
"Parameter ini bisa disesuaikan dan ini bisa dipakai untuk banjir bandang. Kemungkinan adalah di tersebut dan kecepatan. Ini tergantung kualitas airnya. Jadi akhirnya karena air laut memang bisa mencemari tanah sendiri, mencemari sumur," pungkasnya.
(auh/hil)












































