Dengan Cara Ini Manusia Jurang di Mojokerto Tetap Menjaga Silaturahmi

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Selasa, 02 Des 2025 19:30 WIB
Karmin dan Simpen, manusia jurang yang hidup di dasar lembah di lereng Gunung Welirang, Mojokerto. (Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim)
Mojokerto -

Pasangan suami istri (pasutri) Karmin (71) dan Simpen (56) nekat hidup di dasar Jurang Gembolo yang terpencil bukan karena mereka antisosial. Pasangan manusia jurang itu hijrah ke pedalaman hutan karena sungkan bila hidup menumpang di rumah anak mereka.

Karmin, sang suami, menampik bila disebut bahwa dirinya dan istrinya antisosial. Dia tegaskan, alasan utama mereka memutuskan tinggal di dasar lembah karena Karmin sendiri sebagai suami merasa sudah tidak mampu bekerja penuh waktu.

Pria yang akrab disapa Pak Soleh itu sebelum hidup di dalam jurang bekerja sebagai tukang kayu dan bangunan. Seiring bertambahnya usia dirinya sudah tidak mampu untuk menjalankan pekerjaan yang biasa dia lakukan.

Di sisi lain, keempat anak Karmin saat ini sudah berumah tangga dan mempunyai rumah masing-masing. Mereka tinggal di Dusun Jaten, Desa Selotapak, Trawas, Mojokerto, di Dusun Jatirejo, Desa Centong, Gondang, Mojokerto, di Dusun Sambilawang, Desa Sawo, Kutorejo, Mojokerto, serta di Desa Nogosari, Pacet, Mojokerto.

Namun, baik Karmin maupun Simpen merasa sungkan menumpang hidup kepada anak mereka. Karena itu pasangan suami istri ini memilih tinggal di Jurang Gembolo sambil menggarap lahan Perhutani KPH Pasuruan seluas sekitar 1,5 hektare untuk berkebun dan beternak.

Selama 22 tahun, hidup Karmin dan Simpen berkecukupan. Mereka menanam palawija, pisang, jahe, serta budi daya ikan mujair dan kambing Brahman. Bahkan, setiap panen palawija, mereka masih mampu berbagi dengan 4 anaknya minimal Rp 250.000 per anak.

Namun, belakangan ini batin Karmin sedikit nelangsa. Sebab anak-anaknya sangat jarang berkunjung ke rumahnya di dasar Jurang Gembolo. Bila kangen dengan putra-putrinya, ia memilih pulang ke rumahnya di Dusun/Desa Centong, RT 3, RW 1, Gondang, Mojokerto.

"Saya pulang kadang-kadang sebulan sekali. Saya kabari (anak-anak) kalau saya pulang supaya kalau kangen mereka datang ke Centong. Yang kasih kabar istri lewat WhatsApp," terangnya kepada wartawan di rumahnya, Selasa (2/12/2025).

Selain itu, Karmin juga masih menyambung silaturahmi dengan warga Desa Centong maupun Nogosari. Ia sendiri berasal dari Desa Nogosari. Ia biasa pulang kampung pada malam Jumat Legi untuk ziarah makam orang tua dan putranya yang telah tiada.

"Saya pulang kalau malam Jumat Legi untuk nyekar sekalian disuruh berdoa oleh tetangga acara tahlil di rumah pak RT. Katanya kalau saya belum pulang kurang mantap," jelasnya.

Begitu pula dengan Simpen yang rutin pulang kampung rata-rata 2 kali sebulan. Setiap keluar hutan, ibu 5 anak ini lebih dulu menyambangi rumahnya di Dusun Centong. Keesokan harinya ia belanja kebutuhan pokok di Pasar Pandanarum, Pacet, Mojokerto untuk 15 hari hidup di dasar Jurang Gembolo.

"Sebulan pulang 2 kali. Sore pulang, paginya ke Pasar Pandan untuk belanja kebutuhan pokok," ujarnya.

Putra Sulung Karmin, M Soleh (48) mengaku memang jarang menjenguk orang tuanya di Jurang Gembolo. Begitu pula dengan saudaranya yang lain. Namun, menurutnya ini sebagai salah satu cara agar orang tuanya bersedia pulang kampung.

"Itu strategi kami biar orang tua kami pulang. Biar terketuk hatinya, oh ya anak-anak tidak mau datang, biar aku pulang saja," tandasnya.

Jahe kebo menjadi komoditas andalan Karmin dan Simpen untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Luas tanaman jahenya sekitar 2.800 meter persegi. Ia rutin panen setiap minggu sepanjang tahun. Luas lahan Perhutani yang selama ini mereka garap sekitar 1,5 hektare.

Seperti diketahui, Karmin dan Simpen menumpang di lahan Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pasuruan. Secara administrasi, rumah pasutri ini masuk Desa Sukosari, Trawas, Mojokerto.

Meski di dasar jurang, area yang mereka tempati cukup datar. Sekitar 50 meter di sebelah kiri rumah terdapat aliran sungai sebagai pemisah Pacet dengan Trawas.

Tempat tinggal Karmin dan Simpen sangat sederhana. Lantainya berupa tanah, tiang dan dindingnya terbuat dari bambu. Rumah seluas 3x5 meter persegi ini sebagian memakai atap genting, sebagian lagi atap bambu. Hanya ada 3 ruangan di dalamnya, yaitu ruang utama, kamar tidur dan dapur.

Rumah dan ladang manusia jurang ini dikelilingi kebun dan hutan yang masih sangat lebat. Dari sisi Kecamatan Pacet, akses paling dekat melalui Dusun Bulak Kunci, Desa Nogosari dengan waktu tempuh sekitar 45 menit.

Medannya cukup menantang karena harus melalui jalan setapak yang satu sisinya berupa jurang sangat dalam. Di awal perjalanan sekitar 15 menit, jalan setapak bisa ditempuh dengan sepeda motor. Berikutnya harus berjalan kaki menyusuri saluran irigasi.

Bukan cuma itu, perjalanan dengan berjalan kaki harus menuruni jurang yang sangat curam. Setelah menyeberangi sungai dan melewati hutan bambu, di sana lah rumah pasangan Karmin dan Simpen berada.



Simak Video "Video: Kisah Pasutri 22 Tahun Hidup di Dasar Jurang Mojokerto"

(dpe/hil)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork