Di balik rimbunnya hutan dan curamnya Jurang Gembolo, tersimpan kisah keteguhan sepasang suami istri asal Mojokerto. Selama 22 tahun, Karmin dan Simpen memilih hidup jauh dari keramaian, menata hari-hari di rumah bambu berdinding sederhana di dasar jurang yang hanya bisa dicapai lewat jalan setapak.
Keputusan mereka bukan sekadar soal bertahan hidup, melainkan tentang kesetiaan. Simpen mengikuti suaminya hingga ke pedalaman, memikul peran ganda sebagai istri sekaligus rekan kerja di ladang dan kebun yang mereka garap bersama.
Karmin pun berulang kali mengucap syukur karena sosok Simpen yang begitu setia menemani perjalan hidupnya. Tak sekadar menjadi ibu rumah tangga, sang istri juga membantunya mencari nafkah di dalam Jurang Gembolo. Yaitu dengan menanam palawija, jahe, pisang, serta budi daya ikan mujair dan kambing brahman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Puji syukur alhamdulillah istri saya ajak bekerja seperti ini mau," kata Karmin, Selasa (2/12/2025).
Simpen begitu setia menemani suaminya, Karmin selama 22 tahun hidup terpencil di dasar Jurang Gembolo, Mojokerto. Ia menjalaninya dengan full senyum meskipun harus berbagi peran dengan sang suami.
Simpen menikah dengan Karmin tahun 2001. Ketika itu, perempuan asal Dusun/Desa Centong, Gondang, Mojokerto ini berusia 32 tahun. Sedangkan Karmin mempunyai 2 anak dengan istri pertamanya. Ia menikahi Simpen karena sebelumnya sudah bercerai.
Karmin berasal dari Desa Nogosari, Pacet, Mojokerto. Buah pernikahannya dengan Simpen, ia mempunyai 3 anak yang semuanya laki-laki. Namun takdir berkata lain, putra kedua mereka meninggal dalam kecelakaan kerja.
"Meninggalnya jatuh saat bekerja. Padahal, baru 8 bulan menikah, belum punya anak," terang Simpen kepada wartawan di rumahnya, Selasa (2/12/2025).
Melihat lebih dekat pasutri yang tinggal di dasar jurang Mojokerto Foto: Enggran Eko Budianto |
Pada 2003, Karmin dan Simpen mulai hijrah dari Desa Nogosari maupun Centong. Tak sekadar di pedalaman hutan, mereka memilih hidup di dasar Jurang Gembolo yang terpencil. Rasa cinta yang begitu tinggi membuat Simpen setia menemani suaminya.
"Bagaimana ya karena suami saya, cinta," ujarnya ihwal alasannya bersedia diajak hidup di dasar jurang.
Awal hijrah ke Jurang Gembolo, lanjut Simpen, dirinya 3 kali seminggu pulang kampung. Sebab ia masih harus mengasuh anak dan mengikuti sejumlah kegiatan rutin di kampung. Praktis ia meninggalkan suaminya sendirian di rumah terpencil itu.
"Kalau sekarang jarang pulang (ke kampung) karena harus bantu suami mencari rumput (untuk pakan kambing)," jelasnya.
Empat anak Karmin kini sudah berumah tangga dan mempunyai rumah masing-masing. Mereka tinggal di Dusun Jaten, Desa Selotapak, Trawas, Mojokerto, di Dusun Jatirejo, Desa Centong, Gondang, Mojokerto, di Dusun Sambilawang, Desa Sawo, Kutorejo, Mojokerto, serta di Desa Nogosari.
Dalam satu bulan, rata-rata Simpen hanya 2 kali keluar dari hutan. Yaitu untuk menyambangi rumahnya di Dusun/Desa Centong, RT 3 RW 1, sekaligus belanja kebutuhan pokok untuk 15 hari. Sedangkan Karmin fokus menggarap ladang.
"Pulang sore (ke Desa Centong), besok paginya belanja ke Pasar Pandan, lalu kembali ke sini," ungkapnya.
Jahe kebo menjadi komoditas andalan Karmin dan Simpen untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Luas tanaman jahenya sekitar 2.800 meter persegi. Ia rutin panen setiap minggu sepanjang tahun. Luas lahan Perhutani yang selama ini mereka garap sekitar 1,5 hektare.
Karmin dan Simpen menumpang di lahan Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pasuruan. Secara administrasi, rumah pasutri ini masuk Desa Sukosari, Trawas, Mojokerto. Meski di dasar jurang, area yang mereka tempati cukup datar. Sekitar 50 meter di sebelah kiri rumah terdapat aliran sungai sebagai pemisah Pacet dengan Trawas.
Tempat tinggal Karmin dan Simpen sangat sederhana. Lantainya berupa tanah, tiang dan dindingnya terbuat dari bambu. Rumah seluas 3x5 meter persegi ini sebagian memakai atap genting, sebagian lagi atap bambu. Hanya ada 3 ruangan di dalamnya, yaitu ruang utama, kamar tidur dan dapur.
Rumah dan ladang manusia jurang ini dikelilingi kebun dan hutan yang masih sangat lebat. Dari sisi Kecamatan Pacet, akses paling dekat melalui Dusun Bulak Kunci, Desa Nogosari dengan waktu tempuh sekitar 45 menit. Medannya cukup menantang karena harus melalui jalan setapak yang satu sisinya berupa jurang sangat dalam.
Di awal perjalanan sekitar 15 menit, jalan setapak bisa ditempuh dengan sepeda motor. Berikutnya harus berjalan kaki menyusuri saluran irigasi, lalu menuruni jurang yang sangat curam. Setelah menyeberangi sungai dan melewati hutan bambu, baru kita sampai di rumah pasangan Karmin dan Simpen.












































