Hidup 22 Tahun di Dasar Jurang, Pasutri Mojokerto Kerap Lihat Penampakan

Round Up

Hidup 22 Tahun di Dasar Jurang, Pasutri Mojokerto Kerap Lihat Penampakan

Hilda Meilisa Rinanda - detikJatim
Selasa, 02 Des 2025 09:18 WIB
Menyambangi Rumah Pasutri Jurang di Mojokerto
Pasutri yang tinggal di jurang Mojokerto (Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim)
Mojokerto -

Hidup terpencil di dasar jurang selama lebih dari dua dekade bukan pilihan mudah. Namun bagi Karmin alias Pak Soleh (71) dan istrinya, Simpen (56), ruang sunyi di Jurang Gembolo, Mojokerto, justru menjadi tempat mereka menggantungkan hidup dan membesarkan keluarga.

Merasa tak lagi kuat bekerja sebagai tukang kayu dan bangunan, Karmin memutuskan hijrah bersama istrinya ke dasar Jurang Gembolo, Mojokerto pada 2003 silam. Keputusan itu terbilang nekat mengingat jurang tersebut dikenal angker dan dikelilingi alam liar yang jarang dijamah manusia.

Namun selama 22 tahun, pasangan suami istri ini bertahan hidup di tempat terpencil tanpa tetangga dan tanpa fasilitas memadai. Bahkan, ia mengaku sering mengalami kejadian mistis, seperti melihat penampakan hantu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melihat lebih dekat pasutri yang tinggal di dasar jurang MojokertoMelihat lebih dekat pasutri yang tinggal di dasar jurang Mojokerto Foto: Enggran Eko Budianto

"Di sini terkenal jarang orang berani berkebun karena angker. Saya sendiri sering melihat penampakan," kata Karmin kepada wartawan di rumahnya, Senin (1/12/2025).

ADVERTISEMENT

Rumah sederhana mereka berdiri di area datar dasar jurang, yang secara administrasi masuk Desa Sukosari, Trawas, Mojokerto. Lingkungan sekitar dikelilingi kebun dan hutan lebat, dengan sungai yang mengalir sekitar 50 meter dari rumah.

Untuk mencapai tempat ini, butuh waktu sekitar 45 menit dari Dusun Bulak Kunci, Pacet. Perjalanan hanya bisa ditempuh 15 menit pertama dengan sepeda motor, lalu harus berjalan kaki melewati saluran irigasi, menuruni tebing curam, menyeberangi sungai, hingga melewati hutan bambu.

Setibanya di dasar jurang, berdirilah rumah berukuran 3x5 meter milik Karmin dan Simpen. Lantainya tanah, tiang dan dindingnya bambu, dengan sebagian atap genting dan sebagian lain bambu. Ada tiga ruangan di dalamnya, yakni ruang utama, kamar tidur, dan dapur.

Tantangan hidup bukan hanya soal akses. Satwa liar seperti kera, babi hutan, landak, hingga ular kobra kerap mendatangi ladang dan halaman rumah. Karena itu, Karmin memelihara anjing bernama Belang untuk menjaga ladang dan rumah.

"Kalau binatang buas di sini adanya ular kobra, lainnya tidak ada. Alhamdulillah tidak pernah diserang (ular kobra)," ujarnya.

Cuaca ekstrem juga menjadi ancaman, seperti hujan deras, angin kencang, petir, air bah, hingga longsor. Namun selama 22 tahun, mereka mengaku tidak pernah terdampak langsung.

Sumber air di dasar jurang cukup melimpah, tetapi masalah listrik menjadi persoalan awal. Karmin sempat memakai genset selama setahun, lalu beralih ke kincir air sebelum akhirnya menggunakan dua panel surya yang hanya mampu menyalakan dua lampu dan charger ponsel.

"Malah habis-habisin duit, debit airnya kencang, cepat rusak kincir airnya," ungkapnya.

Sumber kehidupan utama pasangan ini berasal dari menggarap sekitar 1,5 hektare lahan Perhutani KPH Pasuruan yang dulunya digarap ayah Karmin, Warsiman, yang meninggal pada 2012. Mereka menanam jahe kebo seluas 2.800 meter persegi, serta ketela, singkong, pisang, dan kacang. Karmin bahkan mampu panen jahe setiap minggu karena tidak memanen sekaligus.

"Sudah panen 5 kwintal, sekarang harganya Rp 20.000/Kg. Masih banyak belum saya panen. Tidak dihabiskan supaya bisa setiap minggu panen sepanjang tahun," jelasnya.

Menyambangi Rumah Pasutri Jurang di MojokertoMenyambangi Rumah Pasutri Jurang di Mojokerto Foto: Enggran Eko Budianto

Selain bertani, pasangan ini juga budi daya ikan mujair dan memelihara kambing brahman. Ada tujuh ekor kambing di kandang, belum termasuk dua ekor yang belum lama dijual Rp 5 juta. Peran mereka terbagi, Karmin mencangkul di ladang, sementara Simpen mencari rumput untuk kambing. Ikan mujair biasanya mereka konsumsi bersama keluarga saat anak-anak berkunjung kala Tahun Baru.

"Kalau ikan mujair tapi tak sampai jual, nanti tahun baru anak-anak ke sini, diunduh dibawa pulang buat masakan, kadang dikasih uang, kadang tidak," ujarnya.

Untuk kebutuhan dapur, Simpen keluar dari jurang setiap 15 hari sekali. Ia berjalan kaki sekitar 1 kilometer sebelum naik motor yang dititipkan di Desa Sukosari. Setelah berbelanja di Pasar Pandanarum, Pacet, ia biasanya bermalam dulu di rumahnya di Desa Centong sebelum kembali ke jurang. "Dari sini (rumah di dasar jurang) jalan kaki sekitar 1 Km, lalu naik motor. Karena motor saya titipkan di Desa Sukosari, Trawas, Mojokerto," bebernya.

Meski hidup dengan segala keterbatasan, Karmin justru merasa cukup secara ekonomi. Ia bahkan bisa membantu keempat anaknya yang sudah berumah tangga. "Alhamdulillah dicukup-cukupkan, tidak sampai minta anak, malah bisa memberi anak," ujarnya.

Setiap panen palawija seperti jagung, Karmin tak lupa membagi hasil kepada anak-anaknya.

"Misalnya panen jagung, anak saya suruh bantu jemur dan giling. Kalau dapat uang, semua anak saya kasih Rp 250.000 paling sedikit. Saya tidak pernah membeda-bedakan anak," tandasnya.

Karmin dan Simpen memiliki lima anak, namun anak ketiga mereka meninggal karena kecelakaan kerja. Empat lainnya sudah berkeluarga dan tinggal terpisah. Meski demikian, rumah sederhana di dasar jurang tetap menjadi pusat aktivitas dan sumber kehidupan bagi pasangan ini.

Selama 22 tahun, keduanya menjadikan Jurang Gembolo sebagai tempat mencari nafkah, tempat tinggal, dan ruang ketenangan jauh dari hiruk pikuk kota. Dalam sunyi dan gelapnya jurang, pasangan ini menemukan cara untuk tetap hidup, bekerja, dan saling menjaga.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Kisah Pasutri 22 Tahun Hidup di Dasar Jurang Mojokerto"
[Gambas:Video 20detik]
(irb/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads