Sosok Marsinah, Buruh Perempuan Tangguh yang Gugur Saat Berjuang

Sosok Marsinah, Buruh Perempuan Tangguh yang Gugur Saat Berjuang

Eka Fitria Lusiana - detikJatim
Senin, 10 Nov 2025 15:30 WIB
Adik aktivis buruh Marsinah, Wijiyati menangis di balik foto kakaknya usai mengikuti upacara pemberian gelar pahlawan kepada Marsinah dan sembilan tokoh lainnya di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). Presiden Prabowo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 10 tokoh yang dinilai berjasa besar bagi Indonesia, antara lain K.H. Abdurrahman Wahid, Jenderal Besar TNI H.M. Soeharto, Marsinah, Mochtar Kusumaatmaja, Hj. Rahma El Yunusiyyah, Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo,  Sultan Muhammad Salahuddin, Syaikhona Muhammad Kholil, Tuan Rondahaim Saragih, dan Zainal Abidin Syah. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Adik Marsinah menangis saat pemberian gelar Pahlawan Nasional/Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Surabaya -

Nama Marsinah abadi sebagai simbol keberanian. Ia bukan pejabat, bukan tokoh besar, melainkan buruh pabrik yang bersuara lantang membela kawan-kawannya. Suaranya dibungkam dengan kekerasan, tetapi semangatnya terus hidup dalam sejarah perjuangan buruh Indonesia.

Berkat keberaniannya memperjuangkan hak buruh itu, ia justru tewas dibunuh secara tak wajar. Sampai hari ini, banyak pihak yang masih mempertanyakan siapa pembunuh Marsinah yang sebenarnya.

Kini, nama Marsinah turut tercatat sebagai pahlawan nasional. Gelar itu disematkan oleh Presiden Prabowo bersama sembilan orang lainnya dalam peringatan Hari Pahlawan. Berikut profil perjalanan hidupnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Profil Marsinah

Marsinah lahir tanggal 10 April 1969, di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Namun, ibunya meninggal ketika Marsinah berumur 3 tahun.

ADVERTISEMENT

Marsinah menempuh pendidikan dasar di SDN Nglundo 2, Kecamatan Sukomoro. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke SMPN 5 Nganjuk. Kemudian, sewaktu SMA ia menempuh pendidikan di SMA Muhammadiyah 1 Nganjuk.

Marsinah dikenal sebagai siswi yang cerdas dan mandiri. Di mata keluarganya, Marsinah dikenal sebagai sosok perempuan yang kuat dan tegas.

Mengutip dari beberapa sumber, selepas lulus SMA, Marsinah sempat bercita-cita meneruskan pendidikan di Fakultas Hukum. Namun, karena terkendala biaya, ia memilih bekerja. Pada 1989, ia merantau ke Surabaya dan menumpang hidup di rumah kakaknya, Marsini.

Marsinah pun bekerja di pabrik plastik SKW di Kawasan Industri Rungkut, tetapi gajinya jauh dari cukup, sehingga ia memutuskan untuk mencari tambahan penghasilan dengan berjualan nasi bungkus.

Marsinah juga pernah bekerja di perusahaan pengemasan barang sebelum akhirnya berpindah ke Sidoarjo dan melamar pekerjaan di pabrik arloji, PT Catur Putra Surya (CPS).

Meski telah sibuk bekerja, Marsinah tetap aktif mengikuti kursus untuk menambah pengetahuannya. ia juga dikenal mempunyai minat baca yang tinggi.

Marsinah menjadi Buruh

Sewaktu menjadi buruh, Marsinah memiliki keingintahuan mengenai aturan ketenagakerjaan. Bahkan, banyak rekan kerjanya yang meminta saran darinya terkait berbagai hal. Ia juga tak segan tampil membela teman-temannya apabila diperlakukan tidak adil oleh perusahaan.

Dari sinilah, Marsinah tampil sebagai pelopor aksi buruh. Ia berani membela hak-hak para pekerja yang sering diabaikan perusahaannya. Keberaniannya ini disaksikan dan dirasakan langsung oleh orang-orang terdekatnya.

Marsinah Memperjuangkan Hak Buruh

Pada awal 1993, pemerintah telah mengeluarkan imbauan kepada pengusaha Jawa Timur untuk menaikkan gaji pokok karyawan sebesar 20 persen.

Namun, imbauan kenaikan itu tidak segera dikabulkan oleh PT CPS, tempat Marsinah bekerja. Hal inilah yang kemudian memicu unjuk rasa para buruh.

Pada 2 Mei 1993, Marsinah turut terlibat dalam rapat yang merencanakan aksi buruh mogok massal pada 3-4 Mei 1993.

Berdasarkan keterangan dari buku Seri Laporan Kasus, kekerasan penyidikan dalam kasus marsinah pada 3 Mei 1993, buruh PT CPS mulai menjalankan aksi pemogokan, meski aksi ini sempat mendapat tekanan dari aparat keamanan.

Pada hari kedua pemogokan, para buruh menggelar perundingan dengan departemen tenaga kerja. Mereka mengajukan 12 tuntutan.

Kesepakatan yang terjalin antara para buruh dan perusahaan dituangkan dalam surat persetujuan bersama. Namun, perjuangan Marsinah dan kawan-kawan belum selesai di situ. Pada 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil Kodim 0816 Sidoarjo dan dipaksa mengundurkan diri dengan alasan sudah tidak dibutuhkan perusahaan.

Meski semula menyatakan penolakan. Namun, 13 buruh tersebut akhirnya menyerah setelah mendapat ancaman intimidasi. Mereka menandatangani surat pengunduran diri bersegel, diminta mengisi identitas diri, dan mendapat uang pesangon di luar prosedur resmi. Kejadian itu semakin mengusik rasa solidaritas Marsinah.

Marsinah Ditemukan Meninggal

Setelah mengetahui tindakan represif dan PHK di kantor kodim. Marsinah tetap menunjukkan solidaritasnya dengan menulis petunjuk bagi kawan-kawannya saat menjawab interogasi di kantor kodim.

Ia bahkan berikrar, "Kalau mereka diancam akan dimejahijaukan oleh kodim, saya akan bawa persoalan ini kepada paman saya di Kejaksaan Surabaya,".

Pada 5 Mei 1993, ia sempat mendatangi pabrik untuk menyampaikan surat protes. Marsinah juga sempat berkunjung ke rumah kawan-kawannya untuk menunjukkan solidaritasnya. Namun, pada malam 5 Mei 1993, ketika ia pergi tanpa tahu ke mana tujuannya, menjadi momen terakhir Marsinah terlihat oleh teman-temannya.

Tiga hari setelah itu, pada 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan meninggal di gubuk Desa Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Jenazahnya ditemukan dalam keadaan penuh luka bekas penyiksaan.

Siapa Dalang Pembunuhan Marsinah?

Kasus pembunuhan Marsinah segera mendapat reaksi keras dari masyarakat dan aktivis HAM. para aktivis membentuk Komite Solidaritas untuk Marsinah (KSUM) dan menuntut pemerintah menyelidiki dan mengadili pelaku pembunuhan.

Pada 30 September 1993, pemerintah membentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jawa Timur untuk menyelidiki kasus Marsinah. Setelah itu, delapan orang petinggi PT CPS ditangkap.

Salah satunya yang terlibat yakni Direktur PT CPS Judi Susanto. Ia kemudian ditetapkan sebagai tersangka bersama karyawan lainnya. Mereka dianggap telah bersekongkol membunuh Marsinah. Namun, proses penyidikan dipenuhi kejanggalan.

Dalam persidangan, terdapat penyangkalan dari sejumlah saksi dan terdakwa. Meski demikian, Judi Susanto dijatuhi hukuman 17 tahun penjara.

Artikel ini ditulis Eka Fitria Lusiana, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.

Halaman 3 dari 3


Simak Video "Video: Tangis Adik Marsinah Saat Upacara Pemberian Gelar Pahlawan Nasional"
[Gambas:Video 20detik]
(auh/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads