Sepasang suami istri muda ini tak menyangka hobi mereka menggambar dan memakai batik akan berujung jadi jalan hidup. Fitri Apriyanti dan Moch Faisal Nasrullah, pemilik brand Batik Kakak, kini menikmati manisnya keputusan besar yang mereka ambil empat tahun lalu: resign dari pekerjaan tetap dan fokus menekuni batik.
Dulu mereka berkarier di sektor perbankan dan pemerintahan non-PNS. Tapi sejak 2021, mereka bulat meninggalkan zona nyaman. Batik yang awalnya hanya usaha sampingan, kini jadi sandaran hidup. Tak tanggung-tanggung, omzetnya bisa tembus Rp70 juta per bulan.
"Kita mulai 2018, tapi waktu itu masih kerja, batik ini hanya usaha kecil-kecilan. Baru 2021 kita mutusin buat resign dan fokus ke usaha," cerita Fitri saat ditemui belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Proses kreatif batik yang mereka hasilkan tak sembarangan. Semuanya dimulai dari sketsa di kertas biasa, lalu difinalisasi lewat aplikasi jBatik, sebuah platform digital hasil pembinaan dari LPS dan Batik Fractal.
Setelah desain jadi, sketsa dikirim ke pengrajin khusus pembuat canting tembaga. Proses produksi dilakukan secara berulang, dengan ukuran pola 20x20 atau 15x15 cm. Hasil akhirnya dikirim kembali ke tangan Fitri dan Faisal untuk dibuat menjadi beragam produk kekinian.
Yang membuat Batik Kakak berbeda dari produk batik lainnya adalah desain dan warnanya. Pasangan ini sengaja menyasar pasar anak muda dan ibu muda, sehingga mereka meracik pola yang simpel dan warna-warna pastel yang sedang digandrungi.
"Selain baju, kita juga kembangkan produk turunan batik seperti hampers dan gift set. Kemasannya juga kita bikin lebih kekinian supaya cocok buat anak-anak muda," kata Faisal.
Bahan kain yang digunakan pun disesuaikan dengan kebutuhan pasar, yakni katun dan primis, yang nyaman dipakai sehari-hari.
Pernah jadi Cendramata KBRI Mesir
Meski berbasis di Sukabumi, produk Batik Kakak sudah menembus pasar luar negeri. Fitri dan Faisal pernah menerima pesanan khusus dari KBRI di Mesir untuk hampers batik berupa sajadah dan dompet, sebanyak 28 paket. Produk mereka juga pernah dikirim ke Jepang, Malaysia, dan Inggris, meski mayoritas pasar ekspor masih berupa suvenir dan home decor.
"Kalau untuk baju, masih dominan pasar Asia Tenggara. Tapi untuk hampers dan produk rumah, permintaan dari Eropa dan Jepang cukup tinggi," ujar Fitri.
Pasutri di Sukabumi nekat keluar dari zona nyaman untuk memulai bisnis batik. Foto: Siti Fatimah/detikJabar |
Dengan modal awal hanya Rp20 jutaan, kini usaha mereka berkembang pesat. Dalam sebulan, mereka bisa memproduksi hingga 700 lembar kain batik, ditambah produk seperti outer, blus, mukena, hingga hampers. Produknya dijual dengan harga mulai dari Rp130 ribu hingga Rp300 ribuan.
"Yang paling happening sekarang outer. Kita desain sendiri, buat sampelnya, baru produksi besar," jelas Faisal.
Kini tim mereka sudah berisi 10 orang, terdiri dari staf toko dan tim produksi yang sebagian besar adalah warga sekitar. Sistemnya pun terorganisir dari desain, produksi, hingga pengemasan. Mereka juga aktif ikut pameran ke Bandung, Jakarta, bahkan hingga Medan dan Balikpapan. Beberapa pelanggan bahkan sudah jadi reseller tetap.
"Alhamdulillah, dari yang awalnya usaha sambilan, sekarang jadi pegangan hidup. Keuntungan bersihnya bisa sampai 40 persen dari omzet," kata Fitri.
(dir/dir)












































