Menata Hidup di Pantai, Cerita Penataan Permukiman di Pesisir Sukabumi

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Rabu, 12 Nov 2025 06:30 WIB
Aktivitas warga pesisir di Teluk Palabuhanratu, berburu impun di setiap penghujung bulan. Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar
Sukabumi -

Di pesisir selatan Kabupaten Sukabumi, rumah-rumah tumbuh menghadap laut. Dari teras, warga bisa melihat gelombang yang datang dan pergi, membawa suara yang sama sejak puluhan tahun lalu. Di wilayah seperti Loji dan Cibutun, laut bukan sekadar pemandangan ia adalah arah hidup.

Orang lahir, tumbuh, bekerja, dan menua dengan menghadap ombak.

Namun kedekatan dengan laut juga membawa konsekuensi. Angin asin membuat dinding cepat rapuh. Tanah bergeser saat musim hujan. Pantai maju dan mundur mengikuti siklus alam. Di banyak titik, abrasi berjalan perlahan, namun pasti. Rumah-rumah dipaksa menyesuaikan diri dengan laut, bukan sebaliknya.

Karena itu, penataan permukiman di pesisir tidak pernah bisa disamakan dengan wilayah lain.

Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kabupaten Sukabumi, Sendi Apriadi, menjelaskan bahwa penanganan kawasan pesisir membutuhkan cara pandang yang berbeda.

"Ada pendekatan khusus yang diterapkan untuk pengelolaan kawasan pesisir yang memiliki karakteristik geografis berbeda dengan wilayah yang lainnya, seperti Loji dan Cibutun. Pendekatan ini biasanya mengacu pada prinsip Pengelolaan Zona Pesisir Terpadu atau Integrated Coastal Zone Management (ICZM)," ujar Sendi.

Prinsip itu dimulai dari menerima kenyataan tempat. Pesisir tidak bisa ditekan menjadi datar dan stabil seperti tanah kota. Ia bergerak, bernapas, menuntut adaptasi. Karena itulah, menurut Sendi, strategi penataannya harus menyesuaikan.

"Karakteristik spesifik di setiap titik pesisir tersebut membutuhkan strategi yang disesuaikan," sambungnya.

Di beberapa titik yang memiliki ekosistem penting mangrove, karang dangkal, atau area penyangga alami pemerintah memilih membatasi aktivitas. Wilayah itu menjadi zona hidup bersama laut.

Sementara area yang lebih landai dan sudah lama dihuni, diarahkan menjadi ruang yang tetap dapat beraktivitas: menangkap ikan, berdagang kecil, hingga menerima tamu yang datang ingin melihat alam.

"Wilayah dengan ekosistem vital mungkin akan ditetapkan sebagai zona konservasi dengan pembatasan aktivitas, sementara wilayah lain yang lebih landai dapat dioptimalkan untuk pariwisata atau perikanan berkelanjutan," kata Sendi.

Namun inti penataan pesisir bukan pada garis peta, melainkan pada manusianya. Laut telah menjadi ruang ingatan bersama warga pesisir; tidak ada solusi yang boleh memaksa mereka menjauh darinya.

"Program pengelolaan yang efektif melibatkan komunitas setempat. Pendekatan ini bisa berfokus pada pengembangan alternatif mata pencaharian ramah lingkungan, seperti ekowisata, dan pembentukan kelompok usaha bersama (koperasi)," ujar Sendi.

Dalam konteks pesisir, ketahanan adalah bentuk kenyamanan. Rumah dan kawasan harus siap menghadapi angin, air, dan kemungkinan bencana.

"Untuk pesisir yang rawan bencana, pendekatan khusus melibatkan pembangunan infrastruktur pelindung pantai yang tepat dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat," jelasnya.

Penataan ini berjalan pelan, mengikuti irama lingkungan itu sendiri. Tidak ada pengerukan besar, tidak ada pemindahan mendadak. Perubahan hadir seperti cara ombak mengubah pantai, tidak terlihat dari hari ke hari, tetapi nyata ketika dilihat dari waktu yang lebih panjang.

Dan itu yang membuat pesisir tetap menjadi pesisir rumah yang dekat laut, tapi lebih siap hidup bersamanya.




(sya/sud)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork