Kritik eks Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nizar Ali atas skema antrean daftar tunggu haji mendapat tanggapan dari Direktur Pelayanan Haji dan Umrah (PHU), Ian Heriyawan. Menurut Ian Heriyawan sejak tahun 2012, dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2012, tidak lagi dikenal alokasi kuota berbasis rasio 1000:1.
Pernyataan tersebut kembali mendapat tanggapan dari Prof. Nizar Ali, mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agama periode 2020-2024.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Prof. Nizar Ali, PP Nomor 79 Tahun 2012 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 telah direvisi melalui UU Nomor 8 Tahun 2019.
"Siapapun orangnya harus menggunakan UU yang terakhir. Maka kalimat proporsi penduduk muslim mengacu ke kesepakatan tersebut. Tidak berarti kemudian sama persis proporsi penduduk Muslim. Karena angka yang disepakati itu adalah patokan dasar pada tahun 1987," jelas Nizar dalam keterangan tertulis yang diterima detikHikmah, Selasa (2/12/2025).
Ia menambahkan bahwa realitas jumlah penduduk muslim Indonesia yang terus bertambah, sementara otoritas pembagian kuota ada di pemerintah Saudi, membuat proporsi tersebut kemudian dirumuskan dalam UU Nomor 8/2019. Dalam pasal 13 ayat (2) huruf a, UU tersebut menggunakan kalimat proporsi jumlah penduduk Muslim antarprovinsi, sekaligus memberi opsi kata "atau" proporsi jumlah daftar tunggu jemaah haji antarprovinsi.
Pernyataan Ian bahwa sejak 2012 pemerintah memiliki pandangan jauh ke depan sehingga pemenuhan rasio 1000:1 sulit dilakukan, menurut Prof. Nizar, tidak sepenuhnya tepat. Ia menekankan bahwa pemerintah Arab Saudi telah menyiapkan visi Saudi 2030 untuk sektor haji, dengan target jumlah jemaah haji mencapai 5 juta orang pada tahun 2030.
Untuk konteks saat ini, jumlah jemaah haji tahun 2025 (1446 H) tercatat mencapai 1.673.230 orang menurut statistik resmi Otoritas Umum Statistik Saudi (GASTAT). "Target ini bukan sekadar angka, melainkan bagian dari upaya sistematis untuk mengembangkan sektor pariwisata religi yang berkelanjutan dan memberikan dampak ekonomi yang luas. Artinya ada potensi masya'ir dapat menampung jumlah jemaah lebih dari 3 kali lipat dari jumlah sekarang," ujar Nizar.
Isu lain yang disoroti adalah moratorium pendaftaran haji. Beberapa pihak menilai moratorium melanggar hak asasi manusia karena jemaah dipaksa kehilangan kesempatan beribadah akibat waktu antrian yang lama. Namun, Prof. Nizar menegaskan, moratorium yang diterapkan hanya pada daerah tertentu dengan jumlah antrean yang panjang, bukan moratorium total.
"Jadi tidak total moratorium, pendaftaran masih tetap ada. Hal ini tidak menyalahi Undang-Undang karena di Undang-Undang tidak menyebutkan di setiap provinsi. Bunyi Undang-Undangnya: 'Pendaftaran Jemaah Haji Reguler dilakukan sepanjang tahun setiap hari kerja sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri'," jelasnya.
Lebih lanjut, Nizar menegaskan bahwa moratorium sebagian ini justru lebih kecil mudharatnya dibandingkan membiarkan masa tunggu yang tidak terkendali. "Substansi moratorium hanya menunda, bukan melarang pendaftar akibat adanya potensi masalah, yakni kesenjangan masa tunggu. Pemilihan opsi moratorium sebagian di daerah tertentu, lebih kecil mudharatnya daripada masa tunggu tidak bisa dikendalikan," pungkas Nizar.
(dvs/erd)












































Komentar Terbanyak
MUI: Nikah Siri Sah tapi Haram
Daftar Besaran Biaya Haji Reguler 2026 Tiap Embarkasi Daerah
Menag: Orang Arab Harus Belajar Islam di Indonesia