Tumbuhan Ekstrem! Si Hijau Mungil Ini Bisa Tahan 9 Bulan di Luar Angkasa

ADVERTISEMENT

Tumbuhan Ekstrem! Si Hijau Mungil Ini Bisa Tahan 9 Bulan di Luar Angkasa

Callan Rahmadyvi Triyunanto - detikEdu
Rabu, 10 Des 2025 06:00 WIB
Tumbuhan Ekstrem! Si Hijau Mungil Ini Bisa Tahan 9 Bulan di Luar Angkasa
Physcomitrium patens Foto: Hokkaido University/Chang-hyun Maeng
Jakarta -

Saat detikers mendengar kata lumut, apa yang terbayang? Apakah tumbuhan yang tumbuh di tempat lembab? menempel di batu, tanah, atau pepohonan?
Tahukah detikers, ternyata lumut tidak hanya hidup di tempat lembab. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa lumut bisa bertahan di lingkungan ekstrem bahkan di luar angkasa.

Kira-kira seperti apa penelitiannya? Nah, supaya tidak penasaran, yuk, simak penjelasan lengkapnya di bawah ini!

Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal iScience pada November 2025, mengungkapkan lumut jenis Physcomitrium patens (P. patens) atau dikenal sebagai spreading earthmoss bisa bertahan dengan baik di luar angkasa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam sebuah penelitian, para ilmuwan mengungkap bahwa lumut mampu bertahan dalam perjalanan sepanjang di luar angkasa dan ditempatkan di luar Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) selama sembilan bulan.

ADVERTISEMENT

Lumut dikenal sebagai tanaman yang mampu bertahan di lingkungan ekstrem, mulai dari puncak Himalaya yang membeku hingga lembah panas dan kering seperti gurun pasir.

Spesies lumut Physcomitrium patens memiliki kemampuan luar biasa dalam bertahan hidup di kondisi ekstrem, termasuk perubahan suhu drastis, paparan radiasi, dan lingkungan yang sangat kering.

Daya tahan seperti inilah yang membuat para peneliti tertarik untuk memilih lumut ini sebagai objek eksperimen di luar angkasa yang memiliki suhunya fluktuatif, gravitasi rendah, dan tingkat radiasi tinggi.

Peneliti menemukan bahwa spesies lumut P. patens mampu beradaptasi dengan lingkungan luar angkasa. Tidak hanya bisa bertahan hidup, lumut ini juga tetap tumbuh dengan baik selama berada di luar angkasa.

Menanggapi temuan tersebut, ahli biologi luar angkasa dari University of Florida, Robert Ferl mengatakan bahwa hasil penelitian ini menarik. "Fakta bahwa kelompok besar makhluk hidup lain dapat bertahan di luar angkasa berdasarkan temuan fisik adalah sesuatu yang menarik," kata Robert, dikutip dari Smithsonian Magazine.

Lumut juga dikenal sebagai tumbuhan pelopor, yakni tumbuhan yang mampu bertahan hidup di suatu tempat sebelum tumbuhan lain dapat tumbuh. Tumbuhan sejenis lumut itulah yang kemudian menjadi salah satu tumbuhan pertama yang berhasil berpindah dari habitat air ke daratan sekitar 500 juta tahun lalu.

Sebelum melakukan pengujian di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), para peneliti lebih dulu melakukan uji coba di Bumi untuk melihat bagaimana lumut P. patens bereaksi terhadap kondisi ekstrem.

Dalam simulasi tersebut, lumut dipaparkan pada lingkungan yang menyerupai luar angkasa, termasuk suhu yang sangat fluktuatif dan radiasi ultraviolet tinggi.
Peneliti juga mengamati beberapa bagian lumut, seperti struktur muda, sel batang khusus yang muncul saat lumut mengalami stres, serta bagian sporofit yang berfungsi sebagai organ reproduksi dan menghasilkan spora.

Hasil awal menunjukkan tahap sporofit, yaitu struktur yang membungkus spora, mampu bertahan dari paparan radiasi ultraviolet, panas ekstrem, dan suhu yang sangat dingin. Karena ketahanan inilah akhirnya dipilih untuk diuji di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).

Setelah uji coba di Bumi selesai, para peneliti mengirimkan sampel sporofit berisi spora ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Sampel tersebut ditempatkan di bagian luar Stasiun Luar Angkasa Internasional selama sembilan bulan sepanjang 2022. Setelah masa pengujian selesai, sampel dikirim kembali ke Bumi pada awal 2023.

"Secara mengejutkan, lebih dari 80% spora bertahan hidup dan banyak di antaranya berkecambah secara normal," kata Tomomichi Fujita, dikutip dari LiveScience.
Berdasarkan penelitian ini, Fujita dan tim peneliti memperkirakan spora lumut bisa bertahan hingga 5.600 hari di luar angkasa atau sekitar 15 tahun.

"Jika spora seperti ini dapat bertahan dalam paparan jangka panjang selama perjalanan antar planet, lalu hidup kembali setelah rehidrasi dan pemanasan, maka suatu hari mereka bisa membantu membangun ekosistem dasar di luar Bumi," kata Fujita, dikutip dari The Guardian.

"Melihat tanaman hijau tumbuh dan bisa mengonsumsi hasil panen segar, saya rasa itu akan menjadi faktor besar bagi kesehatan mental astronot," kata Catherine Neish, dikutip dari Canadian Broadcasting Corporation.

Sementara itu, Agata Zupanska dari SETI Institute, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menyambut baik temuan tersebut. Namun, ia mengingatkan hasil penelitian ini tidak sepenuhnya mewakili kondisi luar angkasa yang lebih ekstrem, seperti yang ditemukan di Bulan atau Mars.

"Manfaat tanaman luar angkasa baru terasa jika mereka bisa tumbuh dan berkembang secara aktif di luar Bumi. Ketahanan spora memang penting, tetapi ini hanyalah langkah awal menuju tujuan yang lebih luas untuk menanam tanaman di lingkungan ekstraterestrial," ujarnya.




(pal/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads