Data korban meninggal akibat banjir dan longsor di Sumatera telah mencapai 604 orang, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Senin (1/12/2025) pukul 18.24 WIB. Lebih dari 1,5 juta orang terdampak dan sedikitnya 1.009 sekolah rusak.
Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Ir Hatma Suryatmojo, S Hut, M Si, IPU, menilai banjir bandang ini bukan hanya karena faktor cuaca. Dalam dua dekade terakhir, pola berulang bencana hidrometeorologi disebabkan oleh kombinasi faktor alam dan ulah manusia.
Menurutnya, pada akhir November curah hujan memang sangat tinggi, terutama di wilayah Sumatera Utara (Sumut). Curah hujan tinggi ini dipicu oleh dinamika atmosfer, termasuk adanya Siklon Tropis Senyar yang terbentuk di Selat Malaka pada akhir November 2025.
"Namun, cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Dampak merusak banjir bandang tersebut sesungguhnya diperparah oleh rapuhnya benteng alam di kawasan hulu," ujar Hatma dalam laman UGM, dikutip Selasa (2/12/2025).
Faktor Rusaknya Ekoksistem Hutan di Hulu
Hatma mengatakan, ekosistem hutan memiliki peran penting dalam pengendali daur air. Rusak atau hilangnya tutupan hutan akan menghilangkan fungsi hutan sebagai penyerap air.
Pada akhirnya, hutan yang seharusnya mengendalikan erosi dan limpasan air di permukaan, menjadi tidak ada. Kondisi ini yang memicu erosi masif dan longsor, yang menjadi cikal bakal munculnya banjir bandang.
Dalam hal ini, kerusakan ekosistem hutan di hulu DAS menghilangkan daya dukung dan tampung untuk meredam curah hujan tinggi.
"Hutan di wilayah hulu DAS berperan vital sebagai penyangga hidrologis. Vegetasi hutan yang rimbun ibarat spons raksasa yang menyerap air hujan ke dalam tanah dan menahannya agar tidak langsung terbuang ke sungai," terangnya.
Menurut studi yang terbit di IOP: Earth and Environmental Science oleh DA Handayani pada 2023, alih fungsi lahan hutan lindung di lereng hulu mengakibatkan banjir dan longsor. Di sisi lain, kebakaran hutan juga membuat kawasan hutan mengering dan rapuh, sehingga mudah hanyut.
Berbagai studi lain juga telah menunjukkan, hutan tropis alami di Sumatera dan Kalimantan memiliki faktor penting ketika curah hujan tinggi. Terutama karena mampu menahan dan menampung air hujan di tajuk (intersepsi) mencapai 15-35% dari hujan.
Kemudian, hutan dengan permukaan tanah yang tidak terganggu, mampu memasukkan air ke dalam tanah (infiltrasi) hingga 55 persen dari hujan, sehingga limpasan permukaan (surface runoff) yang mengalir ke badan sungai hanya tersisa 10-20 persen.
"Belum lagi kemampuan hutan untuk mengembalikan air ke atmosfer melalui proses evapotranspirasi yang bisa mencapai 25-40 persen dari total hujan," papar Hatma.
"Dengan demikian, hutan menjaga keseimbangan siklus air, mencegah banjir di musim hujan sekaligus menyediakan aliran dasar saat musim kering. Sebaliknya, ketika hutan hulu rusak atau gundul, siklus hidrologi alami itu ikut terganggu dan semua fungsi hutan berpotensi hilang," imbuhnya menegaskan.
Deforestasi yang Masif di Sumatera
Hatma mengungkapkan bahwa deforestasi masif telah berlangsung di banyak kawasan hulu Sumatra. Berikut datanya.
1. Di Aceh, hingga tahun 2020 sekitar 59 persen wilayah provinsi ini (±3,37 juta hektar) masih berupa hutan alam. Namun, data kompilasi BPS Aceh dan lembaga lingkungan menunjukkan provinsi ini kehilangan lebih dari 700.000 hektare hutan dalam kurun 1990-2020.
2. Di Sumatra Utara, tutupan hutan tinggal sekitar 29 persen luas daratan (±2,1 juta ha) pada 2020. Hutan yang tersisa tersebar terfragmentasi di pegunungan Bukit Barisan bagian barat (termasuk sebagian Taman Nasional Gunung Leuser) dan enclave konservasi seperti di wilayah Tapanuli. Salah satu benteng terakhir hutan Sumut adalah ekosistem Batang Toru di Tapanuli.
3. Di Sumatra Barat, proporsi hutan sekitar 54 persen dari luas wilayah (±2,3 juta ha) pada 2020. Namun, Walhi Sumbar mencatat dalam periode 2001-2024 provinsi ini kehilangan sekitar 320 ribu ha hutan primer dan total 740 ribu ha tutupan pohon (hutan primer + sekunder). Sisa hutan Sumbar pun banyak berada di lereng curam Bukit Barisan sehingga ketika berkurang, risiko tanah longsor, dan banjir bandang meningkat.
Dengan data tersebut, Hatma, menekankan bahwa kehilangan hutan yang signifikan telah meningkatkan kerentanan terhadap banjir dan dampaknya.
"Tragedi banjir bandang yang melanda Sumatra pada November 2025 sejatinya merupakan akumulasi 'dosa ekologis' di hulu DAS. Cuaca ekstrem saat itu hanya pemicu, daya rusak yang terjadi tak lepas dari parahnya kerusakan lingkungan di wilayah hulu hingga hilir DAS," tegasnya.
Data tahun-tahun sebelumnya, juga mengungkapkan bahwa deforestasi terbesar terjadi di Sumatera. Berdasarkan studi yang terbit di IOP Science pada 1 Februari 2019 oleh Kemen G Austin, dan kawan-kawan, pada periode antara tahun 2001 dan 2016, deforestasi sebagian besar terjadi di pulau-pulau besar Sumatera (47 persen dari deforestasi nasional) dan Kalimantan (40 persen dari deforestasi nasional).
Penyebab utamanya karena perkebunan kelapa sawit, yang mengakibatkan 23 persen (90% CI 18%-25%) deforestasi secara nasional. Selain itu, aktivitas pertambangan juga menjadi penyebab lain.
Menurut studi bertajuk "A pantropical assessment of deforestation caused by industrial mining" oleh Stefan Giljum, dkk, yang terbit di Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) pada 12 September 2022, lahan hutan tropis seluas 3.264 km persegi di Indonesia dibabat untuk aktivitas pertambangan, dalam periode 2000 hingga 2019.
Dalam studi tersebut, Indonesia menjadi negara terburuk, yang berkontribusi terhadap 58,2% deforestasi hutan tropis dari 26 negara.
Hukum untuk Pengendalian Kawasan Hutan Masih Lemah
Menurut Hatma, penataan dan pengendalian kawasan hutan di Indonesia masih lemah. Ini yang kemudian menyebabkan maraknya perambahan hutan dan alih fungsi lahan hutan menjadi kebun sawit, serta illegal logging di kawasan hulu.
Perlindungan hutan dan konservasi DAS, kata Hatma, harus menjadi prioritas utama. Pemerintah perlu menegakkan aturan tata ruang berbasis mitigasi bencana dan menghentikan laju deforestasi di kawasan rawan banjir secara tegas.
"Rehabilitasi lahan kritis dan reforestasi di area tangkapan air strategis juga mendesak dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan sebagai pengendali daur air. Selain itu, meningkatkan edukasi dan partisipasi masyarakat lokal dalam menjaga hutan akan memperkuat upaya perlindungan lingkungan jangka panjang," pungkasnya.
Simak Video "Video WALHI: Masyarakat Bisa Ajukan Gugatan atas Bencana Ekologis"
(faz/pal)