Merinding! 108 'Bangkai' Tergeletak Saat Pentas Calonarang di Tabanan

Pementasan dramatari Calonarang mengambil lakon 'Katundung Ratna Manggali' melibatkan 108 watangan atau bangkai-bangkaian. Ratusan watangan ini merupakan sisya atau murid Pasraman Agung Mandala Suci. Saat pentas Calonarang, mereka diperlakukan layaknya orang yang sudah meninggal. Termasuk dibungkus menggunakan kain kasa atau kafan. (Foto: Istimewa)
Di Bali, tak banyak orang yang berani menjadi watangan atau berperan sebagai bangkai saat pertunjukan Calonarang. Menurut Penuntun Pasraman Agung Mandala Suci, I Nengah Atmaja, orang yang menjadi watangan memiliki risiko tinggi, bahkan bisa meninggal. Sebab, mereka haris melalui prosesi pelepasan roh atau seda raga. (Foto: Chairul Amri Simabur/detikBali)
Lumrahnya, watangan dalam pementasan Calonarang akan ditandu ke setra atau kuburan. Namun karena lokasi pementasan malam jaraknya jauh dari kuburan, satu dari 108 watangan itu ditempatkan di perempatan dekat Gedung Kesenian I Ketut Maria Tabanan. ((Foto: Chairul Amri Simabur/detikBali))
Jumlah watangan 108 dianggap memiliki filosofi. Angka satu bermakna tunggal yang menandakan keesaan Tuhan. Angka nol bermakna kosong atau dalam ajaran Hindu kekosongan itu adalah sunia atau acintya. Sementara angka delapan bermakna kontinyuitas yang menyiratkan kehidupan yang terus berlanjut.

Secara numerologi, penjumlahan terhadap angka tersebut adalah sembilan. Dalam matematika, angka sembilan merupakan bilangan tertinggi. Sementara dalam ajaran Hindu, sembilan atau sanga, mewakili sembilan arah mata angin yang terangkum ke dalam Nawa Sanga. (Foto: Chairul Amri Simabur/detikBali)
Pertunjukan Calonarang ini mengangkat lakon "Katundung Ratna Manggali". Kisah klasik ini menceritakan pengusiran Ratna Manggali yang diperistri Prabu Airlangga.

Diceritakan, Ratna Manggali diusir lantaran ibunya, Walunateng Dirah, disebut-sebut punya ilmu hitam. Pengusiran ini kelak menyulut amarah Walunateng Dirah sebagai seorang ibu hingga berujung pada penyebaran wabah penyakit di kerajaan Kediri. (Foto: Chairul Amri Simabur/detikBali)
Pementasan dramatari Calonarang mengambil lakon Katundung Ratna Manggali melibatkan 108 watangan atau bangkai-bangkaian. Ratusan watangan ini merupakan sisya atau murid Pasraman Agung Mandala Suci. Saat pentas Calonarang, mereka diperlakukan layaknya orang yang sudah meninggal. Termasuk dibungkus menggunakan kain kasa atau kafan. (Foto: Istimewa)
Di Bali, tak banyak orang yang berani menjadi watangan atau berperan sebagai bangkai saat pertunjukan Calonarang. Menurut Penuntun Pasraman Agung Mandala Suci, I Nengah Atmaja, orang yang menjadi watangan memiliki risiko tinggi, bahkan bisa meninggal. Sebab, mereka haris melalui prosesi pelepasan roh atau seda raga. (Foto: Chairul Amri Simabur/detikBali)
Lumrahnya, watangan dalam pementasan Calonarang akan ditandu ke setra atau kuburan. Namun karena lokasi pementasan malam jaraknya jauh dari kuburan, satu dari 108 watangan itu ditempatkan di perempatan dekat Gedung Kesenian I Ketut Maria Tabanan. ((Foto: Chairul Amri Simabur/detikBali))
Jumlah watangan 108 dianggap memiliki filosofi. Angka satu bermakna tunggal yang menandakan keesaan Tuhan. Angka nol bermakna kosong atau dalam ajaran Hindu kekosongan itu adalah sunia atau acintya. Sementara angka delapan bermakna kontinyuitas yang menyiratkan kehidupan yang terus berlanjut.Secara numerologi, penjumlahan terhadap angka tersebut adalah sembilan. Dalam matematika, angka sembilan merupakan bilangan tertinggi. Sementara dalam ajaran Hindu, sembilan atau sanga, mewakili sembilan arah mata angin yang terangkum ke dalam Nawa Sanga. (Foto: Chairul Amri Simabur/detikBali)
Pertunjukan Calonarang ini mengangkat lakon Katundung Ratna Manggali. Kisah klasik ini menceritakan pengusiran Ratna Manggali yang diperistri Prabu Airlangga.Diceritakan, Ratna Manggali diusir lantaran ibunya, Walunateng Dirah, disebut-sebut punya ilmu hitam. Pengusiran ini kelak menyulut amarah Walunateng Dirah sebagai seorang ibu hingga berujung pada penyebaran wabah penyakit di kerajaan Kediri. (Foto: Chairul Amri Simabur/detikBali)